Sabtu, 18 Juni 2011

Psikologi Perkembangan Anak Usia Dini

Anak usia dini adalah anak yang berusia 0 - 6 tahun. Ada juga yang mengatakan 0 -8 tahun. Usia dini dikatakan sebagai masa emas dalam perkembangan. Pada masa anak usia dini, terjadi lonjakan perkembangan fisik, motorik, kemampuan bahasa, berpikir, emosi, sosial yang sangat cepat yang tidak terjadi pada perideo berikutnya.

Faktor yang memengaruhi perkembangan adalah faktor herediter/bawaan, kematangan, lingkungan, dan timing of influence. Lingkungan anak juga memengaruhi perkembangannya. Lingkungan itu antara lain, lingkungan keluarga (urutan lahir, lingkungan fisik, orang/anggota lain yang tinggal serumah, kegiatan sehari-hari, gaya pengasuhan, nilai moral); lingkungan di luar keluarga (teman sebaya, tetangga, orang dewasa lain, sekolah, tempat rekreasi, lingkungan keagamaan); media massa (televisi, surat kabar, radio, majalah); budaya di mana keluarga berada; kondisi ekonomi; kondisi sosial/politik; dan adat-istiadat.

Profil seorang anak:

  • Anak memiliki hak, kebutuhan, dan minat
  • Setiap anak memiliki pengalaman yang berbeda
  • Setiap anak memiliki kompetensi, ketangguhan, dan aktif
  • Setiap naka mempunyai pendapat atau keinginan
  • Anak memiliki hak untuk dikembangkan secara optimal melalui bermain seraya belajar
  • Anak membutuhkan untuk dipahami dan lingkungan yang aman dan nyaman untuk belajar
  • Anak harus tangguh/resilien
Tugas perkembangan anak o - 3 tahun:
  • Belajar tidur pada waktu yang tepat
  • Belajar mengkonsumsi makan
  • Belajar buang air besar dan buang air kecil dengan baik
  • Belajar menggunakan tubuh secara efektif
  • Belajar menyesuaikan diri dengan orang lain
  • Belajar mengekspresikan diri dengan efektif
  • Belajar mandiri
Tugas perkembangan anak 3 - 6 tahun:
  • Mampu mengatur diri dalam memenuhi kebutuhan untuk istirahat atau rileks
  • Mandiri dalam makan dan ke jamban
  • Mampu melakukan berbagai keterampilan fisik
  • Berpartisipasi dalam kegiatan keluarga
  • Mampu mengendalikan emosi
  • Memperoleh berbagai keterampilan sosial
  • Mengenal bahaya
Tugas perkembangan anak usia sekolah 6 - 12 tahun:
  • Menguasai keterampilan yang dibutuhkan anak yang telah bersekolah
  • Menguasai berbagai gerakan fisik
  • Mengenal kegunaan uang
  • Aktif dan kooperatif sebagai anggota keluarga
  • Mampu berteman
  • Mengenal diri sebagai pribadi
  • Mengenal kata hati
Proses belajar pada anak usia dini:
  • Trial and error
  • Mencontoh perilaku orang dewasa
  • Pengalaman dan pengulangan
  • Bimbingan dari orang lain (menurut Vygotsky, scaffolding)
  • Adanya konsekuensi positif dan negatif
  • Dorongan, pujian, cinta kasih, dan kegembiraan
Dunia anak usia dini adalah dunia bermain. Melalui bermain anak akan belajar dan dapat mengembangkan kemaampuan yang dimilikinya. Empat unsur utama dalam bermain adalah playtime. playspace, playthings, dan playfellow.

Referensi:
Atmodiwirjo, E. T. (Juni, 2011). Psikologi perkembangan anak usia dini. Makalah dipresentasikan pada Diskusi Panel Pendidikan Anak Usia Dini, Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara, Jakarta.

Selasa, 08 Februari 2011

Pentingnya Manajemen Kelas

Menciptakan lingkungan pembelajaran yang produktif, yaitu dengan mengatur ruang kelas dengan baik. Ruang kelas adalah tempat di mana siswa secara konsisten terlibat dalam pembelajaran yang produktif. Kelas-kelas yang efektif merupakan hasil dari manajemen kelas yang efektif.

Guru dengan keterampilan manajemen kelas yang efektif: (a) secara fisik mengatur ruang kelas dengan cara yang mengurangi gangguan dna memfasilitasi interaksi guru-siswa, (b) menciptakan iklim di mana para siswa merasa mereka memiliki dan secara intrinsik termotivasi untuk belajar, (c) menetapkan batas-batas yang dapat diterima untuk perilaku, (d) merencanakan aktivitas-aktivitas yang mendorong perilaku mengerjakan tugas, (e) secara kontinu memonitor apa yang siswa lakukan, dan (f) memodifikasi strategi-strategi pengajaran ketika diperlukan.

Iklim atau suasana kelas adalah keseluruhan atmosfer psikologis kelas. Iklim atau suasana kelas yang baik harus tercermin dari siswa merasa aman dan nyaman belajar, meyakini pembelajaran merupakan prioritas utama, dan berani mengambil risiko dan berbuat kesalahan.

Strategi menciptakan suasana kelas yang efektif:
1. Membentuk dan menjaga relasi yang produktif dengan setiap siswa:

- Menyiapkan diri dengan baik untuk performa di kelas
- Mendemonstrasikan bahwa guru senang mengajar
- Mengkomunikasikan ekspektasi-ekspektasi yang tinggi tetapi realistis untuk performa siswa
- Melibatkan siswa dalam membuat keputusan dan mengevaluasi kerja siswa

2. Membangun atmosfer yang serius tetapi tidak menakutkan
3. Mengkomunikasikan pesan-pesan yang tepat mengenai pembelajaran
4. Memberi siswa perasaan kontrol
5. Meningkatkan rasa komunitas dan rasa memiliki

Menetapkan batas-batas
Ada batas-batas yang perlu ditetapkan dalam ruang kelas agar tidak terjadi kekacauan. Batas-batas yang ditetapkan harus dapat diterima dan barguna bagi siswa. Langkah-langkahnya adalah:
1. Tetapkan aturan dan prosedur sedari awal
2. Sajikan aturan dan prosedur dengan cara yang lebih informatif/menerangkan daripada mengontrol
3. Secara periodik melakukan pembaruan aturan dan prosedur
4. Akui perasaan-perasaan siswa mengenai syarat-syarat di kelas
5. Laksanakan aturan secara konisisten dan adil

Referensi:
Mangunsong, F. (Oktober, 2010). Terobosan psikologi pendidikan dalam pembelajaran efektif. Makalah dipresentasikan pada Seminar Psikologi Pendidikan, Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara, Jakarta.

Minggu, 06 Februari 2011

Terobosan dalam Psikologi Pendidikan

Pemahaman dalam melakukan terobosan di bidang pendidikan:
1. Mengajar sebagai proses pengambilan keputusan
2. Menggunakan penelitian dalam pengambilan keputusan di kelas (membuat kesimpulan dari penelitian)
3. Menerapkan teori-teori psikologi dalam pengambilan keputusan di kelas
4. Mengakomodasi keberagaman di dalam kelas
5. Berkembang sebagai guru
6. Strategi belajar yang efektif

Strategi-strategi pembelajaran yang efektif:
1. Mengidentifikasi informasi penting
2. Mengingat kembali pengetahuan sebelumnya
3. Membuat catatan
4. Mengorganisasikan informasi
5. Mengelaborasi informasi
6. Meringkas informasi
7. Memonitor pemahaman

Cara meningkatkan minat siswa pada mata pelajaran di kelas:
1. Sesekali memasukkan hal baru, variasi/selingan, dan misteri ke dalam materi/bahan dan prosedur
2. Menghubungkan informasi dengan kehidupan siswa sendiri
3. Menyediakan kesempatan untuk memberi respons secara aktif terhadap mata pelajaran
4. Sesekali mendorong fantasi dan khayalan siswa

Syarat meningkatkan perkembangan motivasi belajar internal siswa:
1. Siswa butuh lingkungan yang hangat, responsif/mau mendengarkan, dan suportif/mendukung
2. Siswa harus memiliki cukup otonomi/kemandirian untuk memiliki rasa determinasi diri
3. Siswa butuh bimbingan dan struktur, termasuk informasi mengenai perilaku-perilaku yang diharapkan, mengapa perilaku-perilaku itu penting, dan konsekuensi-konsekuensi karena tidak terlibat dengan perilaku-perilaku itu

Menjadi guru yang "inteligen":
1. Mengetahui apa yang siswa lakukan sepanjang waktu di kelas
2. Secara teratur memeriksa kelas untuk perilaku-perilaku yang buruk
3. Melakukan kontak mata yang teratur dengan siswa
4. Mengetahui kapan, dan seringkali mengapa perilaku-perilaku buruk terjadi

Perilaku Buruk
Perilaku buruk adalah setiap aksi yang memiliki potensi mengganggu pembelajaran siswa dan kegiatan kelas yang direncanakan. Para guru harus merencanakan sebelumnya, sebanyak mungkin, ketika memikirkan bagaimana menangani perilaku-perilaku yang buruk.

Strategi menangani perilaku buruk:
1. Mengabaikan perilaku buruk itu
2. Memberi petunjuk kepada siswa dengan menggunakan tanda yang menunjukkan perilaku yang diharapkan
3. Membahas masalah itu secara pribadi dengan siswa yang bersangkutan
4. Mengajarkan strategi-strategi pengaturan diri
5. Menggunakan pendekatan behavioris, seperti menerapkan extinction dan/atau menguatkan perilaku yang bertentangan
6. Menggunakan kombinasi teknik kognitif dan perilaku
7. Berunding dengan orangtua

Pengaturan Diri
Siswa yang dapat mengatur diri adalah siswa yang menetapkan tujuan bagi diri mereka sendiridan terlibat dalam perilaku dan proses kognitif yang mengarah pada pencapaian tujuan itu. Perilaku mengatur diri perilaku yang dipilih sendiri yang mengarah pada pemenuhan standar dan tujuan yang dipilih secara pribadi.

Referensi:
Mangunsong, F. (Oktober, 2010). Terobosan psikologi pendidikan dalam pembelajaran efektif. Makalah dipresentasikan pada Seminar Psikologi Pendidikan, Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanagara, Jakarta.

Sabtu, 08 Januari 2011

Bahaya Terlalu Memanjakan Anak

Kita sudah sering mendengar bahwa memanjakan anak itu tidak baik. Anak yang terlampau sering dimanjakan akan membawa dampak perkembangan anak yang tidak baik di kemudian hari. Oleh karena itu, para orangtua perlu berhati-hati dalam memanjakan anak. Anak biasanya dimanjakan dengan berbagai macam cara, seperti:
1. Memenuhi segala keinginan anak.
2. Membiarkan dan membolehkan anak berbuat sekehendak hatinya. Dalam artian, tidak membiasakan anak dengan peraturan, kepatuhan, dan tata krama.
3. Memberikan seribu satu pelayanan dan perlindungan kepada anak supaya anak terhindar dari kesulitan.

Masih banyak orang yang beranggapan bahwa anak-anak yang dimanjakan hanyalah anak-anak orang kaya. Sebetulnya hal memanjakan anak tidak tergantung pada kaya atau miskin lingkungan keluarga tersebut. Hal ini lebih dipengaruhi pada wawasan orangtua tentang cara-cara mendidik anak yang baik.

Penyebab anak dimanjakan
1. Orangtua memenuhi semua permintaan anak karena takut pada kesulitan yang ditimbulkan jika permintaan anak tidak dipenuhi. Anak yang tidak dipenuhi permintaannya biasanya akan menangis, rewel, atau marah. Hal ini kerap membuat repot bagi orangtua. Oleh karena itu, sebagian orangtua lebih baik memenuhi permintaan anak supaya terhindar dari rengekan, tangisan, amarah, atau kesulitan-kesulitan lain yang ditimbulkan anak.

2. Orangtua menganggap kepentingan anak harus didahulukan demi kebahagiaan anak. Orangtua semacam ini bersikap lunak kepada anak. Mereka tidak tega mengatakan “tidak” pada permintaan anak. Mereka melayani dan memudahkan kehidupan anak. Mereka takut jikalau tidak memenuhi permintaan anak akan membuat anak benci kepada mereka.

3. Orangtua lalai mengajarkan kedisiplinan pada anak. Orangtua tidak menegur anak yang berbuat salah atau berbuat nakal. Anak lupa untuk dibiasakan peraturan, kepatuhan, dan tata krama.

Akibat memanjakan anak
1. Anak akan mempunyai sifat egois atau mementingkan diri sendiri. Anak yang dimanja sejak kecil merasa bahwa selalu ada orang lain yang akan membantu dirinya atau memenuhi segala keinginan dirinya. Akibatnya nanti, anak akan merasa “besar”, merasa terpandang, merasa kepentingannya adalah yang paling utama. Akibatnya pula, anak semacam ini akan memiliki kepekaan sosial yang kurang. Anak menjadi tidak mengerti bagaimana menghargai orang lain.

2. Anak akan memiliki rasa harga diri yang kurang. Karena selalu dituruti, dilayani, dan dilindungi, akan membuat anak memiliki keyakinan bahwa ia “tidak mampu” mengerjakan sesuatu. Mereka nantinya selalu meminta harapan dan bantuan dari orang lain. Selanjutnya, mereka menjadi lekas putus asa dan keras kepala.

3. Anak akan menjadi kurang memiliki rasa inisiatif. Mereka akan memupuk sifat malas. Mereka enggan mengerjakan sesuatu yang sulit karena sejak kecil anak yang dimanja sudah dimudahkan kehidupannya.

4. Anak akan menjadi tidak mandiri. Jika sejak kecil anak sudah dituruti keinginannya, maka ketika besar anak menjadi dependen atau bergantung pada orang lain. Nantinya, dalam mengerjakan sesuatu, anak akan selalu meminta-minta bantuan kepada orang lain.

Referensi Utama:
Purwono, M. N. (2003). Ilmu pendidikan teoritis dan praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Kamis, 06 Januari 2011

Taman Kanak-kanak: Sejarah dan Manfaat

Anak bukanlah orang dewasa mini. Maka dari itu, anak harus diperlakukan berbeda dengan orang dewasa. Oleh sebab itu, pendidikan anak harus disesuaikan dengan jiwa anak. Adalah Friedrich Wilhelm August Frobel (21 April 1782 – 21 Juni 1852), seorang pakar didik anak dari Jerman, yang memelopori munculnya gerakan pendidikan anak.

Ayahnya adalah seorang pendeta. Ibunya meninggal dunia enam bulan setelah ia lahir. Kemudian, Frobel diasuh oleh ibu tirinya yang kejam yang tidak mengakui Frobel sebagai anaknya. Masa kecilnya semakin pahit karena ayahnya tidak pernah mau tahu dengan keadaannya, bahkan ia dicap oleh ayahnya sebagai anak terkutuk dengan kemampuan intelektual yang rendah.

Penderitaan yang dialami Frobel semasa kecil membangkitkan hasratnya untuk memperbaiki dan mengubah cara mendidik anak, baik di rumah maupun di sekolah. Karena besarnya kecintaan pada anak-anak, ia mendirikan sekolah khusus bagi anak-anak prasekolah yang dikenal dengan nama “kindergarten” (Taman Kanak-kanak). Sampai sekarang Frobel dikenal sebagai Bapak Taman Kanak-kanak.

Semboyannya yang terkenal adalah: “Marilah kita hidup bagi anak!” Anjurannya yang terkenal di sekolahnya dalam mendidik anak-anak, yaitu friede, freude, dan freihet (damai, gembira, dan merdeka). Sangat sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak-anak. Metode yang dianjurkan Frobel, yaitu dari anak-anak dan dengan anak-anak. Cita-cita Frobel baru diakui oleh masyarakat setelah ia meninggal dunia. Sebelumnya, semasa ia hidup banyak orang yang mengejek cita-citanya itu.

Perlukah anak-anak kita dimasukkan ke TK sebelum anak dimasukkan ke SD? Tidak perlu diragukan lagi jawabannya. Jelas sekali memasukkan anak ke TK memiliki sejumlah keuntungan. Jika ditinjau dari sudut perkembangan anak, anak usia prasekolah masih memiliki sifat egosentris, suatu sifat di mana anak masih memandang bahwa segala sesuatu yang ada di sekitarnya adalah untuknya, kepunyaannya, dan harus tunduk kepadanya. Sifat ini terkadang menyusahkan orangtua. Anak sering bertengkar, membantah, dan menolak nasihat orangtua. Perasaan sosial anak masih kurang. Dengan memasukkan anak ke TK, anak akan belajar bergaul dengan anak lain, bermain bersama, dan belajar bersama. Anak akan belajar untuk tunduk kepada aturan dan belajar bertanggung jawab. Dengan demikian, perasaan sosial anak akan tumbuh dan terlatih. Selain itu, anak mulai belajar sopan santun, berlaku baik, tolong-menolong sesama teman, dan sebagainya. Semuanya itu baik bagi perkembangan mental anak sehingga anak siap dan matang bersekolah menuju jenjang yang lebih tinggi. (suf)

Referensi utama:
Purwono, M. N. (2003). Ilmu pendidikan teoritis dan praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Minggu, 02 Agustus 2009

Pengembara dan Batunya

Seorang laki-laki berjalan di bawah terik matahari melalui daerah tidak dikenal. Ia telah berjalan sepanjang hari ketika ia merasa cemas dan mulai khawatir bahwa ia mungkin salah jalan. Mendadak, ia terkejut melihat seorang laki-laki amat sangat tua duduk bersandar pada sebuah batang pohon. Kedua tangannya terlipat dan kepalanya terkulai di atas tangan. Rambut putih laki-laki tua itu berkilau memantulkan sinar matahari.

Si pengembara yang terkejut itu berlari menemuinya dan bertanya, “Maaf, permisi, apakah Anda baik-baik saja?” Lelaki tua itu tidak bergerak atau pun menjawab.

Si pengembara berlutut dan menyentuh bahu lelaki tua tersebut sambil bertanya lagi, “Permisi, apakah Anda tidak apa-apa?”

Lagi-lagi dia tidak mendapatkan jawaban. Si pengembara berdiri dan berniat melanjutkan perjalanan, ketika tiba-tiba kepala lelaki tua itu terangkat dan matanya terbuka lebar.

Dengan suara lemah dan terpatah-patah si lelaki tua berkata, “Teruslah berjalan, kau berada di jalan yang benar. Sebelum kau menyeberangi sungai, kumpulkan apa yang kau temukan di sana sebanyak-banyaknya, karena kau tidak akan pernah bisa kembali.” Matanya tertutup dan kepalanya kembali disandarkan pada tangannya.

Si pengembara menunggu, kemudain akhirnya berbalik dan melanjutkan perjalanannya di bawah sengatan matahari, sambil berkata pada dirinya sendiri bahwa lelaki tua itu mungkin gila. Kemudian, ia memikirkan perkataan lelaki tua itu dan tertawa sendiri, “Mungkin sungainya juga tidak ada!”

Si pengembara berjalan terus dan akhirnya sampailah dia di kaki sebuah bukit besar. Ketika ia mencapai puncaknya, ia melihat sebuah sungai besar yang indah mengalir perlahan di balik bukit. Dengan bersemangat, ia berlari menuruni bukit dan meloncat ke dalam air yang sejuk. Dia menari-nari sambil menciprat-cipratkan air ke atas sehingga membasahi seluruh tubuhnya. Tiba-tiba ia tertegun, suara lelaki tua itu terngiang kembali di telinganya, “Sebelum kau menyeberangi sungai, kumpulkan apa yang kau temukan di sana sebanyak-banyaknya, karena kau tidak akan pernah bisa kembali.”

Si pengembara itu mencari-cari ke sekelilingnya, tetapi tidak melihat apa pun kecuali, ranting, bebatuan, dan rerumputan biasa. Ia berpikir, “Satu-satunya yang bisa kukumpulkan adalah batu-batu ini, tetapi untuk apa? Untuk menghalau binatang buas, ah, rasanya tidak mungkin.”

Tapi, ia membungkuk juga untuk mengumpulkan beberapa buah batu dan mengantonginya. Kemudian, ia berbalik untuk menyeberangi sungai, tetapi ia berhenti lagi, dan berpikir, “Ini hal yang paling gila yang pernah kulakukan.” Kemudian, ia pun menyeberangi sungai.

Langit menjadi gelap, dan pengembara itu kelelahan sehingga ia memutuskan untuk menghentikan perjalanannya dan mendirikan sebuah tenda kecil. Dengan cepat ia tertidur. Menjelang tengah malam, mendadak ia terbangun dan berdiri. Ia menatap bulan purnama yang menerangi langit. Ia menjadi marah saa menyadari apa yang membangunkannya. Batu-batu dalam kantongnyalah yang telah mengganjal tubuhnya. Ia mengeluarkan segenggam batu itu dan menyingkirkannya. Sinar bulan memantul pada batu-batu itu. Ternyata, batu-batu itu berubah menjadi intan permata yang tak ternilai harganya! Si pengembara merasa menyesal. “Andai saja aku mengumpulkan lebih banyak sebelum menyeberangi sungai tadi,” pikirnya.

Pesan moral dari kisah di atas:
Sekolah seperti tepian sungai yang penuh batu-batu berserakan yang mungkin akan menjadi permata jika Anda mengambilnya. Seperti lelaki tua yang tidak dapat memaksa si pengembara mengambil batu sebanyak-banyaknya, guru juga tidak dapat memaksa Anda mengumpulkan ilmu yang ditawarkan di sekolah. Tidak juga orang lain. Tetapi, guru dapat dan akan mendorong Anda untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan sebanyak mungkin sebelum Anda menyeberangi sungai karena Anda tidak akan pernah bisa kembali ke saat ini.

Rabu, 01 Juli 2009

Menjadi Seorang Quantum Teacher

Guru adalah faktor yang paling berarti dan berpengaruh dalam kesuksesan siswa sebagai pelajar. Dr. Georgi Lozanov menyatakan bahwa tindakan yang paling ampuh yang dapat seorang guru lakukan untuk siswa adalah memberikan keteladanan tentang makna menjadi seorang pelajar. Keteladanan seorang guru akan memberdayakan dan mengilhami siswa untuk membebaskan potensi milik mereka sebagai pelajar.

Apa itu quantum teacher? Sebelumnya perlu dijelaskan mengenai quantum, yaitu interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Jadi, quantum teacher adalah seoang guru yang menyingkapkan energi alamiah dalam diri setiap siswa dan mengorkestrasi interaksi yang mengubah energi tersebut menjadi cahaya bagi orang lain.

Apa ciri-ciri seorang quantum teacher? Berikut ini adalah ciri-cirinya:
• Antusias: menampilkan semangat hidup
• Berwibawa: menggerakkan orang
• Positif: melihat peluang dalam setiap saat
• Supel: mudah menjalin hubungan dengan beragam siswa
• Humoris: berhati lapang untuk menerima kesalahan
• Luwes: menemukan lebih dari satu cara untuk mencapai hasil
• Menerima: mencari di balik tindakan dan penampilan luar untuk menemukan nilai-nilai inti
• Fasih: berkomunikasi dengan jelas, ringkas, dan jujur
• Tulus: memiliki niat dan motivasi positif
• Spontan: dapat mengikuti irama dan tetap menjaga hasil
• Menarik dan tertarik: mengaitkan setiap informasi dengan pengalaman hidup siswa dan peduli akan diri siswa
• Menganggap siswa “mampu”: percaya akan dan mengorkestrasi kesuksesan siswa
• Menetapkan dan memelihara harapan tinggi: membuat pedoman kualitas hubungan dan kualitas kerja yang memacu setiap siswa untuk berusaha sebaik mungkin

Referensi:
DePorter, B., Reardon, M., & Singer-Nourie, S. (2000). Quantum teaching: Mempraktikkan quantum learning di ruang-ruang kelas. Bandung: Kaifa. (Karya asli diterbitkan tahun 1999).