Minggu, 02 Agustus 2009

Pengembara dan Batunya

Seorang laki-laki berjalan di bawah terik matahari melalui daerah tidak dikenal. Ia telah berjalan sepanjang hari ketika ia merasa cemas dan mulai khawatir bahwa ia mungkin salah jalan. Mendadak, ia terkejut melihat seorang laki-laki amat sangat tua duduk bersandar pada sebuah batang pohon. Kedua tangannya terlipat dan kepalanya terkulai di atas tangan. Rambut putih laki-laki tua itu berkilau memantulkan sinar matahari.

Si pengembara yang terkejut itu berlari menemuinya dan bertanya, “Maaf, permisi, apakah Anda baik-baik saja?” Lelaki tua itu tidak bergerak atau pun menjawab.

Si pengembara berlutut dan menyentuh bahu lelaki tua tersebut sambil bertanya lagi, “Permisi, apakah Anda tidak apa-apa?”

Lagi-lagi dia tidak mendapatkan jawaban. Si pengembara berdiri dan berniat melanjutkan perjalanan, ketika tiba-tiba kepala lelaki tua itu terangkat dan matanya terbuka lebar.

Dengan suara lemah dan terpatah-patah si lelaki tua berkata, “Teruslah berjalan, kau berada di jalan yang benar. Sebelum kau menyeberangi sungai, kumpulkan apa yang kau temukan di sana sebanyak-banyaknya, karena kau tidak akan pernah bisa kembali.” Matanya tertutup dan kepalanya kembali disandarkan pada tangannya.

Si pengembara menunggu, kemudain akhirnya berbalik dan melanjutkan perjalanannya di bawah sengatan matahari, sambil berkata pada dirinya sendiri bahwa lelaki tua itu mungkin gila. Kemudian, ia memikirkan perkataan lelaki tua itu dan tertawa sendiri, “Mungkin sungainya juga tidak ada!”

Si pengembara berjalan terus dan akhirnya sampailah dia di kaki sebuah bukit besar. Ketika ia mencapai puncaknya, ia melihat sebuah sungai besar yang indah mengalir perlahan di balik bukit. Dengan bersemangat, ia berlari menuruni bukit dan meloncat ke dalam air yang sejuk. Dia menari-nari sambil menciprat-cipratkan air ke atas sehingga membasahi seluruh tubuhnya. Tiba-tiba ia tertegun, suara lelaki tua itu terngiang kembali di telinganya, “Sebelum kau menyeberangi sungai, kumpulkan apa yang kau temukan di sana sebanyak-banyaknya, karena kau tidak akan pernah bisa kembali.”

Si pengembara itu mencari-cari ke sekelilingnya, tetapi tidak melihat apa pun kecuali, ranting, bebatuan, dan rerumputan biasa. Ia berpikir, “Satu-satunya yang bisa kukumpulkan adalah batu-batu ini, tetapi untuk apa? Untuk menghalau binatang buas, ah, rasanya tidak mungkin.”

Tapi, ia membungkuk juga untuk mengumpulkan beberapa buah batu dan mengantonginya. Kemudian, ia berbalik untuk menyeberangi sungai, tetapi ia berhenti lagi, dan berpikir, “Ini hal yang paling gila yang pernah kulakukan.” Kemudian, ia pun menyeberangi sungai.

Langit menjadi gelap, dan pengembara itu kelelahan sehingga ia memutuskan untuk menghentikan perjalanannya dan mendirikan sebuah tenda kecil. Dengan cepat ia tertidur. Menjelang tengah malam, mendadak ia terbangun dan berdiri. Ia menatap bulan purnama yang menerangi langit. Ia menjadi marah saa menyadari apa yang membangunkannya. Batu-batu dalam kantongnyalah yang telah mengganjal tubuhnya. Ia mengeluarkan segenggam batu itu dan menyingkirkannya. Sinar bulan memantul pada batu-batu itu. Ternyata, batu-batu itu berubah menjadi intan permata yang tak ternilai harganya! Si pengembara merasa menyesal. “Andai saja aku mengumpulkan lebih banyak sebelum menyeberangi sungai tadi,” pikirnya.

Pesan moral dari kisah di atas:
Sekolah seperti tepian sungai yang penuh batu-batu berserakan yang mungkin akan menjadi permata jika Anda mengambilnya. Seperti lelaki tua yang tidak dapat memaksa si pengembara mengambil batu sebanyak-banyaknya, guru juga tidak dapat memaksa Anda mengumpulkan ilmu yang ditawarkan di sekolah. Tidak juga orang lain. Tetapi, guru dapat dan akan mendorong Anda untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan sebanyak mungkin sebelum Anda menyeberangi sungai karena Anda tidak akan pernah bisa kembali ke saat ini.

Rabu, 01 Juli 2009

Menjadi Seorang Quantum Teacher

Guru adalah faktor yang paling berarti dan berpengaruh dalam kesuksesan siswa sebagai pelajar. Dr. Georgi Lozanov menyatakan bahwa tindakan yang paling ampuh yang dapat seorang guru lakukan untuk siswa adalah memberikan keteladanan tentang makna menjadi seorang pelajar. Keteladanan seorang guru akan memberdayakan dan mengilhami siswa untuk membebaskan potensi milik mereka sebagai pelajar.

Apa itu quantum teacher? Sebelumnya perlu dijelaskan mengenai quantum, yaitu interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Jadi, quantum teacher adalah seoang guru yang menyingkapkan energi alamiah dalam diri setiap siswa dan mengorkestrasi interaksi yang mengubah energi tersebut menjadi cahaya bagi orang lain.

Apa ciri-ciri seorang quantum teacher? Berikut ini adalah ciri-cirinya:
• Antusias: menampilkan semangat hidup
• Berwibawa: menggerakkan orang
• Positif: melihat peluang dalam setiap saat
• Supel: mudah menjalin hubungan dengan beragam siswa
• Humoris: berhati lapang untuk menerima kesalahan
• Luwes: menemukan lebih dari satu cara untuk mencapai hasil
• Menerima: mencari di balik tindakan dan penampilan luar untuk menemukan nilai-nilai inti
• Fasih: berkomunikasi dengan jelas, ringkas, dan jujur
• Tulus: memiliki niat dan motivasi positif
• Spontan: dapat mengikuti irama dan tetap menjaga hasil
• Menarik dan tertarik: mengaitkan setiap informasi dengan pengalaman hidup siswa dan peduli akan diri siswa
• Menganggap siswa “mampu”: percaya akan dan mengorkestrasi kesuksesan siswa
• Menetapkan dan memelihara harapan tinggi: membuat pedoman kualitas hubungan dan kualitas kerja yang memacu setiap siswa untuk berusaha sebaik mungkin

Referensi:
DePorter, B., Reardon, M., & Singer-Nourie, S. (2000). Quantum teaching: Mempraktikkan quantum learning di ruang-ruang kelas. Bandung: Kaifa. (Karya asli diterbitkan tahun 1999).

Senin, 08 Juni 2009

Tiga Domain Pendidikan

Pendidikan di segala jenjang pada umumnya dimaksudkan mendapatkan tiga domain dalam pembelajaran, yaitu kognitif, psikomotor, dan afektif. Dalam bahasa sehari-hari dapat diterangkan menjadi: pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Pembelajaran kognitif (pengetahuan) mencakup pemerolehan informasi dan konsep. Pembelajaran ini tidak hanya berkenaan dengan pemahaman bahan ajar, tetapi juga dengan analisis dan penerapannya pada situasi baru. Pembelajaran psikomotor atau perilaku (keterampilan) mencakup pengembangan kompetensi pada kemampuan siswa dalam mengerjakan tugas, memecahkan masalah, dan mengungkapkan pendapat. Pembelajaran afektif (sikap) mencakup pengkajian dan penjelasan tentang perasaaan dan preferensi (kesukaan). Siswa dilibatkan dalam menilai diri mereka sendiri dan hubungan pribadi mereka terhadap materi pelajaran.

Pembelajaran aktif atas informasi, keterampilan, dan sikap berlangsung berlangsung melalui proses penyelidikan atau proses bertanya. Siswa dikondisikan dalam sikap mencari (aktif) bukan hanya menerima (reaktif). Dengan kata lain, siswa mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka atau pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan sendiri. Mereka mengupayakan pemecahan atas permasalahan yang diajukan oleh guru. Mereka tertarik untuk mendapatkan informasi atau menguasai keterampilan guna menyelesaikan tugas yang diberikan kepada mereka. Kemudian, mereka dihadapkan pada persoalan yang membuat mereka tergerak untuk mengkaji apa yang mereka nilai dan yakini. Semua ini terjadi apabila siswa dilibatkan dalam tugas dan kegiatan yang secara halus mendesak mereka untuk berpikir, bekerja, dan merasa.

Jenis-jenis kegiatan yang berkaitan dengan pembelajaran aktif dapat dilihat dari beberapa judul posting saya sebelumnya...

Referensi:
Silberman, M. L. (2006). Active learning: 101 cara belajar siswa aktif (edisi revisi) (R. Muttaqien, Penerj.). Bandung: Nusamedia. (Karya asli diterbitkan tahun 1996).

Minggu, 07 Juni 2009

Jigsaw Classroom: Belajar Ala Permainan Jigsaw

Belajar ala permainan jigsaw (menyusun potongan gambar) merupakan teknik yang paling banyak dipraktikkan (Silberman, 1996/2006). Entah di Indonesia, apakah sering dipraktikkan di sekolah-sekolah? Sepanjang hidup saya, saya tidak ingat pernah diberikan pembelajaran ala jigsaw. Namun, apa pun itu, patutlah dicobakan.

Metode ini salah satu variasi dari cooperative learning. Metode ini merupakan alternatif menarik bila ada materi belajar yang bisa disegmentasikan atau dibagi-bagi dan bila bagian-bagiannya harus diajarkan secara berurutan. Kelas dibagi ke dalam kelompok. Tiap anggota kelompok mempelajari satu bagian materi. Tiap anggota kelompok yang mendapat bagian materi yang sama membentuk kelompok lagi untuk mendiskusikan bagian materi tersebut. Setelah itu, tiap anggota kelompok kembali ke kelompok awal mereka dan saling mengajarkan bagian materi kepada anggota kelompok lain.

Prosedur:
1. Pilih materi belajar yang bisa dipecah menjadi beberapa bagian atau segmen. Sebuah bagian bisa sependek kalimat atau sepanjang beberapa paragaf. (Jika materinya panjang, perintahkan siswa untuk membaca tugas mereka sebelum pelajaran.)

Contoh:
• Sebuah naskah biografi tokoh sejarah
• Bagian-bagian eksperimen ilmu pengetahuan
• Daftar definisi
• Sejumlah artikel setebal majalah atau jenis materi bacaan pendek lain

2. Hitung jumlah bagian yang hendak dipelajari dan jumlah siswa. Bagikan secara adil bagian-bagian itu kepada berbagai kelompok siswa. Sebagai contoh, jika kelas terdiri dari 30 siswa. Materi pelajaran mungkin dapat dibagi menjadi 6 bagian.

3. Selanjutnya, dapat dibentuk kelompok kuintet (kelompok dengan 5 orang). Kita sebut saja “kelompok belajar bagian”. Tiap-tiap kelompok kuintet ini mendapat bagian materi yang sama untuk membaca, mendiskusikan, dan menguasai per bagian materinya.

4. Setelah waktu belajar selesai, bentuklah kelompok “jigsaw”. Kelompok tersebut terdiri dari perwakilan tiap kelompok kuintet di kelas. Nantinya, akan terbentuk kelompok kuintet yang baru dengan bagian-bagian materi yang berbeda. (Atau, alternatif lain, kelompok “jigsaw” sudah dibentuk terlebih dahulu sebelum dibentuk “kelompok belajar bagian”.)

5. Perintahkan anggota kelompok “jigsaw” untuk mengajarkan satu sama lain dari hasil diskusi dan apa yang telah mereka pelajari sebelumnya.

Dengan demikian, tiap siswa mempelajari sesuatu yang, bila digabungkan dengan materi yang dipelajari oleh siswa lain, membentuk kumpulan pengetahuan atau keterampilan yang padu.

Gambar diambil dari http://img.tfd.com/wn/52/62CCB-jigsaw-puzzle.jpg

Referensi:
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Silberman, M. L. (2006). Active learning: 101 cara belajar siswa aktif (edisi revisi) (R. Muttaqien, Penerj.). Bandung: Nusamedia. (Karya asli diterbitkan tahun 1996).

Sabtu, 06 Juni 2009

Cooperative Learning

Cooperative learning adalah suatu kegiatan belajar di mana siswa membentuk kelompok kecil dan mengajari satu sama lain (Santrock, 2008). Kelompok yang dibentuk mungkin terdiri dari sepasang (2 orang), atau mungkin terdiri 4 orang atau lebih tergantung dari ukuran kelas. Apa yang didiskusikan siswa dengan teman-temannya dan apa yang diajarkan siswa kepada teman-temannya memungkinkan siswa untuk memperoleh pemahaman dan penguasaan materi pelajaran. Selain itu, cooperative learning dapat meningkatkan interdepedensi (ketergantungan) siswa. Bahasa umumnya, bisa bikin siswa jadi makin akrab.

Sebagian pakar (Silberman, 1996/2006) percaya bahwa sebuah mata pelajaran baru benar-benar dikuasai ketika siswa mampu mengajarkannya kepada orang lain. Cooperative learning memberi siswa kesempatan untuk mempelajari sesuatu dengan baik, dan sekaligus menjadi narasumber bagi siswa lain.

Salah satu bentuk cooperative learning yang sering digunakan adalah presentasi per kelompok. Kelas dibentuk kelompok (4-6 orang), lalu diberikan materi yang berbeda-beda. Kelompok diberi waktu untuk menguasai materi. Setelah itu, tiap kelompok diberikan kesempatan untuk mempresentasikan apa yang dipelajari di hadapan siswa-siswa lain.

Whew… Bicara soal presentasi, jujur saja, berdasarkan pengalaman saya, presentasi yang dilakukan oleh para siswa jauh lebih-lebih membosankan dan lebih membingungkan daripada apa yang dipresentasikan oleh guru atau dosen (termasuk saya juga lho). Mengapa? Entahlah, mungkin dari faktor budaya pengajaran Indonesia yang memang menuntut siswa lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Jadi, saat siswa diminta presentasi, hasilnya kurang memuaskan. Siswa sering tegang, grogi, atau banyak membaca slide layaknya orang berpidato (mending pidatonya berapi-api, tapi ini mah datar-datar saja) sehingga kurang menarik… Hehe, bukan curhat colongan oy…

Namun, bukan berarti, saya mengatakan pembelajaran dengan presentasi adalah buruk. TIDAK SAMA SEKALI. Justru, ini dapat melatih oral communication skil siswa. Oleh karena itu, penting bagi guru atau dosen untuk terus memberikan feedback kepada anak didiknya, baik dari segi materinya maupun cara mereka dalam membawakan materi, sehingga presentasi siswa dapat menjadi pengajaran yang efektif.

Gambar adalah foto saya saat presentasi di kelas Psikologi Sosial 2.

Referensi:
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Silberman, M. L. (2006). Active learning: 101 cara belajar siswa aktif (edisi revisi) (R. Muttaqien, Penerj.). Bandung: Nusamedia. (Karya asli diterbitkan tahun 1996).

Jumat, 05 Juni 2009

Problem-Based Learning

Problem-based learning (pembelajaran berdasarkan masalah) menekankan pada pemecahan masalah yang ada di kehidupan sehari-hari (Santrock, 2008). Bentuk aktivitas pembelajaran ini dengan memakai studi riset ilmiah. Riset dilakukan dalam kelompok kecil. Kelompok kecil ini dapat terdiri dari 4 sampai 5 orang. Masalah yang digunakan dapat bersumber dari masalah yang ada di lingkungan sekitar siswa. Misalkan, “Apa yang menyebabkan penurunan minat membaca pada siswa sekolah X?” atau “Bagaimana pandangan para siswa sekolah X mengenai penyandang HIV/AIDS?”

Siswa diminta mengidentifikasi masalah atau isu tersebut. Nantinya, siswa akan mencari sumber dan materi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Guru sendiri hanya berfungsi sebagai pembimbing yang membantu siswa serta memantau sampai di mana usaha siswa mampu menyelesaikan masalah itu. Perlu diingat, studi riset memerlukan ketekunan, kekompakan, dan waktu yang tidak sedikit. Guru sangatlah perlu memberikan masukan yang positif dan motivasi bagi murid agar riset tidak berhenti di tengah jalan.

Gambar diambil dari http://archive.student.bmj.com/issues/07/09/careers/images/view3.jpg

Referensi:
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.



http://www.youtube.com/watch?v=XB7M5c6MUuo.

Berikut ini adalah contoh video mengenai problem-based learning yang dilakukan di Maastricht University. Tapi, ini bukan promosi lho.. ^^

Kamis, 04 Juni 2009

Discovery Learning

Pada metode pembelajaran ini, siswa diminta untuk membentuk pengetahuan secara mandiri. Guru berusaha memotivasi siswa untuk memiliki pengalaman dengan melakukan eksperimen yang membolehkan mereka untuk menemukan prinsip bagi diri mereka sendiri.

Pembelajaran ini paling efektif diterapkan pada pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA). Bentuk aktivitas pembelajaran ini, yaitu dengan melakukan percobaan-percobaan (eksperimen) yang mungkin bisa dilakukan di laboratorium. Selanjutnya, guru meminta siswa untuk menerangkan hasil percobaan yang ditemui. Nantinya, siswa diharapkan dapat memahami apa yang terjadi setelah melakukan percobaan.

Discovery learning memiliki banyak keuntungan. Salah satunya, dengan cara belajar ini, siswa dapat meningkatkan keingintahuannya, dan termotivasi untuk terus bekerja sampai mereka menemukan jawaban atas pertanyaan mereka. Siswa juga cenderung lebih mengerti jika mampu melihat dan melakukan sesuatu daripada hanya mendengarkan ceramah.

Bagaimana agar siswa dapat belajar independen atau mandiri? Jawaban yang paling tepat dari sudut pandang discovery learning adalah membiarkan siswa mengikuti minat alamiah (natural interest) dalam meraih kompetensinya dan memuaskan rasa ingin tahunya. Guru hanya perlu mendorong siswa untuk menyelesaikan masalah secara mandiri atau dalam kelompok daripada mengajarkan mereka langsung jawabannya.

Sudut pandang pembelajaran ini menyebutkan bahwa belajar seharusnya fleksibel dan penuh eksplorasi. Jika siswa terlihat kesulitan dengan konsep, berikan mereka waktu untuk mencoba menyelesaikan masalah sendiri sebelum menyediakan solusi.

Akan tetapi, discovery learning tidak dapat digunakan di sekolah-sekolah secara “murni”. Jika dilakukan secara “murni”, maka artinya siswa hanya dituntut untuk belajar sendiri dan tidak ada instruksi dari guru. Peran guru tetaplah diperlukan, terutama untuk mengoreksi pemahaman siswa yang salah dalam melakukan percobaan.

Saran bagi guru jika menerapkan pengajaran dengan pendekatan discovery learning:
1. Menyemangati siswa dengan memberikan pertanyaan yang mengarah pada materi ajar
2. Menggunakan berbagai macam variasi dan permainan
3. Membiarkan siswa memuaskan rasa ingin tahu walaupun mereka menemukan ide-ide yang tidak berhubungan langsung dengan pelajaran

Gambar diambil dari http://www.permai.or.id/images/sma/kecil/SMA%20Permai_KBM_04.jpg

Referensi:
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Slavin, R. E. (1997). Educational psychology: Theory and practice (5th ed.). Boston: Allyn & Bacon.

Selasa, 02 Juni 2009

Essential Question

Essential question (pertanyaan esensial) adalah pertanyaan yang mencerminkan jantung kurikulum, sesuatu yang sangat penting yang harus dieksplor dan dipelajari siswa (Santrock, 2008).

Guru harus memberikan pertanyaan agak membingungkan, tetapi memancing rasa ingin tahu siswa, terutama mengenai materi yang akan dibahas. Siswa lebih cenderung mengingat pengetahuan tentang materi pelajaran yang belum pernah dibahas sebelumnya jika siswa dilibatkan semenjak awal dalam pengalaman kegiatan belajar satu kelas penuh.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dapat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Misalkan, siswa SMP yang baru pertama kali mendapat pelajaran ekonomi dapat ditanyai, “Mengapa kita harus membayar pajak?” Selain itu, dapat pula mengenai definisi (“Apa gaya gravitasi itu?”), cara kerja (“Apa yang membuat burung dapat terbang?”), judul (“Menurut kalian, menceritakan tentang apa puisi ‘Aku’?”), dan akibat (“Menurut kalian, bagaimana akhir dari kisah ‘Malin Kundang’?”).

Penggunaan frase, seperti “coba tebak” atau “coba jawab” dapat mendorong siswa untuk berpikir dan membuat dugaan umum. Guru sebaiknya tidak terburu-buru dalam memberikan tanggapan atau jawaban. Tampung dulu semua jawaban siswa untuk menciptakan rasa penasaran pada siswa.

Guru sebaiknya menggunakan pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk mengarahkan siswa kepada apa yang nanti akan diajarkan.

Gambar diambil dari http://ginisty.typepad.com/weblog/images/question.jpg

Referensi:
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Silberman, M. L. (2006). Active learning: 101 cara belajar siswa aktif (edisi revisi) (R. Muttaqien, Penerj.). Bandung: Nusamedia. (Karya asli diterbitkan tahun 1996).

Senin, 01 Juni 2009

Studi Kasus

Studi kasus diakui secara luas sebagai salah satu metode belajar terbaik. Studi kasus pada umumnya berfokus pada persoalan yang ada dalam situasi atau contoh konkret, tindakan yang mesti diambil dan pelajaran yang bisa dipetik, serta cara-cara menangani atau menghindari situasi semacam itu di masa mendatang.

Prosedur:
1. Bagi kelas dalam beberapa kelompok (2-5 orang per kelompok). Perintahkan siswa untuk membuat studi kasus yang bisa dianalisis dan didiskusikan oleh siswa lain.

2. Jelaskan kepada siswa bahwa tujuan dari sebuah studi kasus adalah mempelajari sebuah topik dengan mengkaji situasi atau contoh konkret yang mencerminkan topik itu.

3. Sediakan waktu yang mencukupi bagi kelompok untuk membuat situasi kasus singkat yang mengandung contoh atau isu untuk didiskusikan atau sebuah persoalan untuk dipecahkan yang relevan dengan materi pelajaran di kelas.

Misal, kelompok membuat studi kasus berupa “Pengaruh Pembantu Rumah Tangga Pada Anak Di Rumah Yang Ditinggal Ibunya Bekerja”

Lalu, tiap kelompok menganalisis studi kasus tersebut. Agar lebih mudah, dapat dibantu pertanyaan-pertanyaan, seperti
“Apakah ada dampak pembantu rumah tangga terhadap perilaku si anak?”
“Apa yang terjadi jika proses sosialisasi anak lebih banyak dilakukan oleh seorang pembantu rumah tangga?”

4. Bila studi kasus ini sudah selesai, perintahkan kelompok untuk menyajikannya di depan kelas.

Referensi:
Silberman, M. L. (2006). Active learning: 101 cara belajar siswa aktif (edisi revisi) (R. Muttaqien, Penerj.). Bandung: Nusamedia. (Karya asli diterbitkan tahun 1996).

Minggu, 31 Mei 2009

Kekhawatiran Tentang Metode Belajar Aktif

Silberman (1996/2006) mencoba menjawab berbagai macam bentuk kekhawatiran guru mengenai kegiatan belajar aktif.

Apakah kegiatan belajar aktif hanya merupakan kumpulan kegembiraan dan permainan?
Bukan, belajar aktif bukan sekadar bersenang-senang, kendati kegiatan belajar ini memang bisa menyenangkan dan tetap dapat mendatangkan manfaat. Sesungguhnya, banyak teknik belajar aktif yang memberi siswa tantangan yang menuntut kerja keras.

Apakah belajar aktif sedemikian berfokus pada aktivitas itu sendiri sampai-sampai siswa tidak memahami apa yang dipelajari?
Inilah persoalan sebenarnya. Banyak nilai guna dari kegiatan belajar aktif yang berasal dari tindakan memikirkan kegiatan manakala sudah usai dan membahas maknanya bersama teman sekelas. Jangan menganggap remeh fakta ini. Acapkali ada baiknya memberi pelajaran singkat setelah berlangsungnya kegiatan belajar aktif guna menghubungkan antara apa yang dialami siswa dengan konsep-konsep yang hendak disampaikan.

Apakah belajar aktif menyita banyak waktu?
Tidak diragukan bahwa kegiatan belajar aktif menyita banyak waktu ketimbang pengajaran langsung (direct instruction), namun ada banyak cara untuk menghindari terbuangnya waktu dengan sia-sia.

Kapan kita menggunakan kelompok dalam belajar aktif? Bagaimana kita menghindari agar kelompok-kelompok itu tidak menyia-nyiakan waktu dan tidak produktif?
Kelompok bisa menjadi produktif manakala mereka hanya memiliki sedikit rasa kebersamaan pada permulaan pelajaran dan ketika kerja kelompok tidak ditata dengan baik dari awal. Siswa menjadi bingung dengan apa yang dilakukan, kurang bisa menata diri, dan mudah teralihkan perhatiannya dari tugas. Atau boleh jadi mereka mengerjakan tugas secepat mungkin, dan hanya memahami bagian luarnya saja. Ada beberapa metode untuk mengajarkan cara belajar dalam kelompok, misalnya memberi tugas kepada setiap anggota kelompok, menetapkan aturan dasar kelompok, mempraktikkan keterampilan berkelompok, dst.

Adakah kemungkinan buruk bahwa siswa akan salah menyampaikan informasi kepada satu sama lain dalam metode belajar aktif berbasis-kelompok?
Kemungkinan seperti itu tetap ada. Akan tetapi, seorang guru selalu bisa membahas materi pelajaran dengan seluruh siswa setelah siswa secara aktif berupaya mempelajarinya sendiri dan mengajarkannya kepada satu sama lain.

Saya tertarik dengan belajar aktif, namun saya tidak yakin apakah anak didik saya juga tertarik?
Semakin kurang terbiasanya siswa dengan belajar aktif, semakin tidak mudahlah pada awalnya. Perkenalkan metode belajar aktif secara bertahap. Dalam jangka panjang, siswa akan mendapatkan manfaat dari belajar aktif.

Bukankah diperlukan lebih banyak persiapan dan kreativitas dalam mengajar menggunakan metode belajar aktif?
Bisa ya, bisa tidak. Bila kita sudah menguasainya, persiapan dan kreativitas ekstra tidak akan dirasa membebani. Justru, kita akan merasa bergairah dengan apa yang kita ajarkan, dan gairah atau semangat ini akan menular kepada peserta didik.

Referensi:
Silberman, M. L. (2006). Active learning: 101 cara belajar siswa aktif (edisi revisi) (R. Muttaqien, Penerj.). Bandung: Nusamedia. (Karya asli diterbitkan tahun 1996).

Sabtu, 30 Mei 2009

Student-Centered Teaching: Belajar Siswa Aktif

Lebih dari 2400 tahun silam, Konfusius mengatakan:

Yang saya dengar, saya lupa
Yang saya lihat, saya ingat
Yang saya kerjakan, saya pahami

Tiga pernyataan sederhana ini berbicara banyak tentang perlunya belajar aktif.

Kebanyakan siswa melupakan apa yang guru ajarkan karena terlalu lama dan panjang informasi yang disampaikan oleh guru. Pada umumnya, guru berbicara dengan kecepatan 100 hingga 200 kata per menit, sementara siswa hanya mampu mendengarkan dengan penuh konsentrasi 50 hingga 100 kata per menit (Silberman, 1996/2006). Itu karena siswa juga berpikir banyak selain mendengarkan. Berkonsentrasi terhadap apa yang dikatakan guru dalam waktu yang lama bukanlah perkara mudah bagi siswa. Ketika mendengarkan ceramah guru dalam waktu yang panjang, siswa cenderung merasa bosan, dan tak pelak lagi pikiran mereka akan mengembara entah ke mana.

Bahkan, sebuah penelitian menunjukkan bahwa dalam perkulian bergaya ceramah, mahasiswa kurang menaruh perhatian selama 40% dari seluruh waktu kuliah. Mahasiswa dapat mengingat 70% persen dalam 10 menit pertama kuliah, sedangkan dalam 10 menit terakhir, mereka hanya dapat mengingat 20% persen materi kuliah. Tidak heran, mahasiswa dalam kuliah psikologi yang disampaikan dengan gaya ceramah hanya mengetahui 8% lebih banyak dari kelompok pembanding yang sama sekali belum pernah mengikuti kuliah psikologi (Silberman, 1996/2006).

Pemberian materi pelajaran dengan menggunakan media visual dapat meningkatkan ingatan siswa dari 14 hingga 38% terhadap materi (Silberman, 1996/2006). Namun demikian, perlu diingat, belajar tidak cukup hanya dengan mendengarkan atau melihat sesuatu.

Mengapa siswa perlu belajar aktif? Hal ini ada sangkut-pautnya dengan otak manusia. Otak manusia tidak berfungsi sebagai tape recorder yang mampu menampung informasi yang masuk, tetapi otak juga harus mengolahnya. Otak akan melakukan tugas belajar dengan lebih baik jika otak membahas informasi itu dengan orang lain, atau diminta mengajukan pertanyaan tentang itu.

Menurut John Holt (dikutip dari Silberman, 1996/2006), proses belajar akan meningkat jika siswa diminta untuk melakukan sesuatu terhadap informasi, sebagai berikut:
1. Mengemukakan kembali informasi dengan kata-kata mereka sendiri
2. Memberikan contohnya
3. Mengenalinya dalam bermacam-macam bentuk dan situasi
4. Melihat kaitan antara informasi itu dengan fakta atau gagasan lain
5. Menggunakannya dengan beragam cara
6. Memprediksikan sejumlah konsekuensinya
7. Menyebutkan lawan atau kebalikannya

Dengan melakukan beberapa hal di atas, kita bisa mendapatkan umpan balik tentang seberapa bagus pemahaman kita.


Proses belajar sesungguhnya bukanlah menghafal semata. Banyak hal yang kita ingat akan hilang dalam beberapa jam. Mempelajari bukanlah menelan semuanya. Untuk mengingat apa yang diajarkan, siswa harus mengolahnya atau memahaminya. Seorang guru tidak dapat dengan serta-merta menuangkan sesuatu ke dalam benak para siswanya karena siswa sendirilah yang harus menata apa yang didengar dan dilihat menjadi satu kesatuan yang bermakna. Tanpa peluang untuk mendiskusikan, mengajukan pertanyaan, mempraktikkan, dan barangkali bahkan mengajarkannya kepada siswa yang lain, proses belajar sesungguhnya tidak terjadi.

Ketika kegiatan belajar sifatnya pasif, siswa mengikuti pelajaran tanpa rasa keingintahuan, tanpa mengajukan pertanyaan, dan tanpa minat terhadap hasilnya (kecuali, barangkali, nilai yang diperoleh). Ketika kegiatan belajar sifatnya aktif, siswa akan mengupayakan sesuatu. Siswa menginginkan jawaban atas sebuah pertanyaan, membutuhkan informasi untuk memecahkan masalah, atau mencari cara untuk mengerjakan tugas.

Gambar diambil dari http://mipsos.files.wordpress.com/2009/02/oa1xxx682.jpg

Referensi:
Silberman, M. L. (2006). Active learning: 101 cara belajar siswa aktif (edisi revisi) (R. Muttaqien, Penerj.). Bandung: Nusamedia. (Karya asli diterbitkan tahun 1996).

Jumat, 29 Mei 2009

Piaget Vs Vygsotsky

Ada dua tokoh besar yang teorinya punya peranan penting dalam pengajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivis. Mereka adalah Jean Piaget dan Lev Semenovich Vygotsky. Tetapi, ada perbedaan penekanan dari kedua teori tokoh ini. Yuk, kita bahas satu per satu!

Jean Piaget adalah seorang psikolog Swiss terkenal (1896-1980) yang karena hasil penelitiannya mengenai anak-anak dan teori perkembangan kognitifnya.

Teori pendekatan konstruktivis Piaget dinamakan dengan pendekatan konstruktivis kognitif (cognitive constructivist approach). Pada pendekatan ini, siswa membentuk pengetahuan dengan mentransformasikan, mengorganisasikan, dan mereorganisasikan pengetahuan dan informasi sebelumnya. Piaget menekankan bahwa guru seharusnya menyediakan dukungan bagi siswa untuk mengeksplor dan mengembangkan pemahaman.


Lev Vygotsky adalah seorang psikolog Rusia (1896-1934) dan pendiri cultural-historical psychology.

Teori pendekatan konstruktivis Vygotsky dinamakan dengan pendekatan konstruktivis sosial (social constructivist approach). Pada pendekatan ini, siswa membentuk pengetahuannya dengan berinteraksi dengan teman sebayanya atau orang yang dianggap lebih expert (ahli atau pakar). Vygotsky menekankan bahwa guru seharusnya menciptakan banyak kesempatan bagi siswa untuk belajar bersama dengan teman sebaya dan guru dan saling membentuk pengetahuan.

Boleh berbeda, namun juga tetap ada persamaannya. Persamaan dari kedua pendekatan ini, yaitu guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing daripada sebagai sutradara atau model bagi pembelajaran siswa.

Gambar Jean Piaget diambil dari http://netsains.com/wp-content/uploads/2009/02/piaget.jpg

Gambar Lev Vygotsky diambil dari http://hagar.up.ac.za/catts/learner/2000/scheepers_md/images/vygotsky.jpg

Referensi:
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Minggu, 24 Mei 2009

Dua Metode Pengajaran

Ada dua metode utama mengenai bagaimana guru mengajar: pendekatan konstruktivis (constructivist) dan pendekatan instruksi langsung (direct instruction).

Pendekatan konstruktivis adalah pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centered approach), yaitu pendekatan yang menekankan pada pentingnya siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan dan pemahamannya secara aktif dengan bimbingan dari guru (Santrock, 2008). Pada pendekatan konstruktivis, guru seharusnya tidak menumpahkan informasi ke dalam pikiran siswa. Siswa seharusnya dirangsang untuk mengeksplorasi dunia mereka, menemukan pengetahuan, melakukan refleksi, dan berpikir kritis dengan tuntunan dan pengawasan oleh guru. Karena pembelajaran berpusat pada siswa, guru tidak lagi memberikan ceramah dan mengontrol aktivitas kelas. Analoginya, guru hanya memberikan tangga kepada siswa untuk membantu siswa mendaki ke arah pemahaman yang lebih tinggi, tetapi siswa itu sendiri yang harus mendaki tangga tersebut.

Sedangkan, pendekatan instruksi langsung adalah pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centered approach), yaitu pendekatan yang dicirikan dengan adanya instruksi dan kontrol dari guru, standar prestasi, ekspektasi guru akan kemajuan siswa, waktu yang harus diluangkan siswa dalam mengerjakan tugas, dan usaha guru meminimalkan efek negatif (seperti, kritik yang berlebihan) yang timbul selama pengajaran (Santrock, 2008). Tujuan dari pendekatan instruksi langsung adalah memaksimalkan waktu belajar siswa. Semakin banyak waktu yang digunakan siswa untuk belajar, semakin siswa dapat menguasai materi pelajaran. Dengan demikian, pendekatan ini fokus pada kegiatan akademis. Kegiatan nonakademis, seperti bermain, cenderung tidak digunakan.

Sejumlah pakar psikologi pendidikan menyebutkan bahwa pengajaran yang efektif adalah dengan menggunakan kedua pendekatan ini (Santrock, 2008). Lebih lanjut, pada waktu tertentu sebaiknya pengajaran menggunakan pendekatan konstruktivis, sementara di waktu lain menggunakan pendekatan instruksi langsung.

Referensi:
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Sabtu, 23 Mei 2009

Selayang Pandang Psikologi Pendidikan

Pernah dengar kata psikologi? Apa itu psikologi? Jika Anda bilang psikologi itu ilmu tentang kejiwaan, atau ilmu tentang orang gila atau stres, maka Anda tidaklah salah. Tapi, jawaban Anda itu paling hanya saya kasih nilai 25. Hehe...

Terus, apa definisi sebenarnya dari psikologi? Psikologi adalah studi ilmiah mengenai perilaku dan proses mental (Santrock, 2005). Jadi, ada 3 istilah yang dapat kita cermati di sini: ilmiah, perilaku, dan proses mental.

Ilmiah artinya metode yang digunakan dalam riset psikologi adalah sistematis. Metode sistematis ini mencakup (a) mengkonseptualisasikan masalah, (b) mengumpulkan data, (c) menganalisa data, dan (d) menarik suatu kesimpulan (Santrock, 2005). Perilaku adalah sesuatu hal yang dapat kita amati secara langsung. Perilaku inilah data yang dikumpulkan oleh para psikolog. Karena jiwa adalah sesuatu yang abstrak, perilaku digunakan sebagai indikator dalam menentukan taraf kejiwaan seorang. Proses mental adalah sesuatu yang tidak dapat diamati secara langsung meliputi, pikiran, perasaan, motif, dsb. Proses mental dapat diamati dari perilaku.

Bingung? Jadi penjelasannya begini. Dalam melihat kejiwaan seseorang, psikolog mengamati perilaku seseorang itu seperti apa. Misalkan, saat seseorang dalam jiwa terguncang, tak mungkin wajahnya berseri-seri. Dengan melihat perilaku, kita dapat menebak apa yang sedang berkecamuk dalam jiwa seseorang. Maka dari itu, psikologi juga dapat diartikan sebagai ilmu tentang perilaku.

Lalu apakah psikologi pendidikan itu? Psikologi pendidikan adalah cabang dari psikologi yang secara khusus mempelajari pembelajaran (learning) dan pengajaran (teaching) dalam lingkup pendidikan (Santrock, 2008). Psikologi pendidikan merupakan suatu alat (tool) yang dapat digunakan untuk memberi pengajaran yang efektif. Dapat dikatakan, psikologi pendidikan adalah penerapan psikologi ke dalam dunia pendidikan.

Tiga ranah yang ditekankan psikologi pendidikan, yakni: guru (pengajar), siswa (pembelajar), dan pembelajaran itu sendiri. Topik-topik yang sering dibahas dalam psikologi pendidikan, antara lain keragaman budaya siswa, siswa dengan kondisi luar biasa (exceptional learner), motivasi siswa, rencana pengajaran, metode pengajaran, manajemen kelas, tes bakat dan prestasi siswa, serta isu teknologi pendidikan.

Psikologi pendidikan memang tidak dapat memberi tahu apa yang harus seorang guru lakukan, tetapi psikologi pendidikan dapat memberikan prinsip-prinsip untuk menyelesaikan masalah dan juga pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pendidikan.

Catatan: Gambar adalah lambang psikologi

Referensi:
Santrock, J. W. (2005). Psychology (Updated 7th ed.). New York: McGraw-Hill.
--------------- (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Jumat, 22 Mei 2009

Selamat Datang

Hai... hai... Anda telah tiba di blog psikologi pendidikan yang berjudul SI PEN. Apa itu SI PEN? SI PEN adalah singkatan dari pSIkologi PENdidikan. Artinya, isi dari blog ini berhubungan dengan psikologi pendidikan atau pun tentang psikologi dan pendidikan saja. Mudah-mudahan dengan kehadiran blog ini sedikit dapat menambah informasi tentang dunia psikologi dan pendidikan.

Filosofi blog ini sederhana saja. Anda lihat sebuah pen besar ketika melihat blog ini, bukan? Pen adalah benda lazim yang menemani hidup kita dalam aktivitas menulis. Pen adalah alat penting bagi seorang pelajar. Inilah alat yang digunakan untuk mencatat buku dan menjawab soal ujian. Tanpa pen, rasanya akan sulit membayangkan bila aktivitas belajar-mengajar disampaikan dari mulut ke mulut.

Oh, ya, saya masih ingat dengan perkataan seorang guru SD saya yang berujar bahwa pen adalah senjata utama seorang guru. Dengan sebuah pen, beliau dapat tidak meluluskan seorang siswa. Angka 9 di rapor dapat dicoret dan diubah menjadi angka 4, kata beliau. Hanya berbekal pen. Ngomong-ngomong, siapa ya, pencipta pen? Kita harus berterima kasih (atau mungkin menghujat) untuk orang ini. Ternayata, sebuah pen mampu menentukan nasib seorang siswa.

Perlu Anda ketahui, blog ini sengaja dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Psikologi Pendidikan 2. Dengan kata lain, blog ini dibuat dengan terpaksa. Ups, hehehe. Namun, bukan berarti blog ini akan mati suri begitu saja setelah mata kuliahya lulus (Amin). Mungkin saja, blog ini akan berkembang dan terus berkembang.

Oleh karena itu, dukungan, kritik dan saran untuk pengembangan blog ini sangatlah diharapkan.

Regard,

Sufren