Minggu, 31 Mei 2009

Kekhawatiran Tentang Metode Belajar Aktif

Silberman (1996/2006) mencoba menjawab berbagai macam bentuk kekhawatiran guru mengenai kegiatan belajar aktif.

Apakah kegiatan belajar aktif hanya merupakan kumpulan kegembiraan dan permainan?
Bukan, belajar aktif bukan sekadar bersenang-senang, kendati kegiatan belajar ini memang bisa menyenangkan dan tetap dapat mendatangkan manfaat. Sesungguhnya, banyak teknik belajar aktif yang memberi siswa tantangan yang menuntut kerja keras.

Apakah belajar aktif sedemikian berfokus pada aktivitas itu sendiri sampai-sampai siswa tidak memahami apa yang dipelajari?
Inilah persoalan sebenarnya. Banyak nilai guna dari kegiatan belajar aktif yang berasal dari tindakan memikirkan kegiatan manakala sudah usai dan membahas maknanya bersama teman sekelas. Jangan menganggap remeh fakta ini. Acapkali ada baiknya memberi pelajaran singkat setelah berlangsungnya kegiatan belajar aktif guna menghubungkan antara apa yang dialami siswa dengan konsep-konsep yang hendak disampaikan.

Apakah belajar aktif menyita banyak waktu?
Tidak diragukan bahwa kegiatan belajar aktif menyita banyak waktu ketimbang pengajaran langsung (direct instruction), namun ada banyak cara untuk menghindari terbuangnya waktu dengan sia-sia.

Kapan kita menggunakan kelompok dalam belajar aktif? Bagaimana kita menghindari agar kelompok-kelompok itu tidak menyia-nyiakan waktu dan tidak produktif?
Kelompok bisa menjadi produktif manakala mereka hanya memiliki sedikit rasa kebersamaan pada permulaan pelajaran dan ketika kerja kelompok tidak ditata dengan baik dari awal. Siswa menjadi bingung dengan apa yang dilakukan, kurang bisa menata diri, dan mudah teralihkan perhatiannya dari tugas. Atau boleh jadi mereka mengerjakan tugas secepat mungkin, dan hanya memahami bagian luarnya saja. Ada beberapa metode untuk mengajarkan cara belajar dalam kelompok, misalnya memberi tugas kepada setiap anggota kelompok, menetapkan aturan dasar kelompok, mempraktikkan keterampilan berkelompok, dst.

Adakah kemungkinan buruk bahwa siswa akan salah menyampaikan informasi kepada satu sama lain dalam metode belajar aktif berbasis-kelompok?
Kemungkinan seperti itu tetap ada. Akan tetapi, seorang guru selalu bisa membahas materi pelajaran dengan seluruh siswa setelah siswa secara aktif berupaya mempelajarinya sendiri dan mengajarkannya kepada satu sama lain.

Saya tertarik dengan belajar aktif, namun saya tidak yakin apakah anak didik saya juga tertarik?
Semakin kurang terbiasanya siswa dengan belajar aktif, semakin tidak mudahlah pada awalnya. Perkenalkan metode belajar aktif secara bertahap. Dalam jangka panjang, siswa akan mendapatkan manfaat dari belajar aktif.

Bukankah diperlukan lebih banyak persiapan dan kreativitas dalam mengajar menggunakan metode belajar aktif?
Bisa ya, bisa tidak. Bila kita sudah menguasainya, persiapan dan kreativitas ekstra tidak akan dirasa membebani. Justru, kita akan merasa bergairah dengan apa yang kita ajarkan, dan gairah atau semangat ini akan menular kepada peserta didik.

Referensi:
Silberman, M. L. (2006). Active learning: 101 cara belajar siswa aktif (edisi revisi) (R. Muttaqien, Penerj.). Bandung: Nusamedia. (Karya asli diterbitkan tahun 1996).

Sabtu, 30 Mei 2009

Student-Centered Teaching: Belajar Siswa Aktif

Lebih dari 2400 tahun silam, Konfusius mengatakan:

Yang saya dengar, saya lupa
Yang saya lihat, saya ingat
Yang saya kerjakan, saya pahami

Tiga pernyataan sederhana ini berbicara banyak tentang perlunya belajar aktif.

Kebanyakan siswa melupakan apa yang guru ajarkan karena terlalu lama dan panjang informasi yang disampaikan oleh guru. Pada umumnya, guru berbicara dengan kecepatan 100 hingga 200 kata per menit, sementara siswa hanya mampu mendengarkan dengan penuh konsentrasi 50 hingga 100 kata per menit (Silberman, 1996/2006). Itu karena siswa juga berpikir banyak selain mendengarkan. Berkonsentrasi terhadap apa yang dikatakan guru dalam waktu yang lama bukanlah perkara mudah bagi siswa. Ketika mendengarkan ceramah guru dalam waktu yang panjang, siswa cenderung merasa bosan, dan tak pelak lagi pikiran mereka akan mengembara entah ke mana.

Bahkan, sebuah penelitian menunjukkan bahwa dalam perkulian bergaya ceramah, mahasiswa kurang menaruh perhatian selama 40% dari seluruh waktu kuliah. Mahasiswa dapat mengingat 70% persen dalam 10 menit pertama kuliah, sedangkan dalam 10 menit terakhir, mereka hanya dapat mengingat 20% persen materi kuliah. Tidak heran, mahasiswa dalam kuliah psikologi yang disampaikan dengan gaya ceramah hanya mengetahui 8% lebih banyak dari kelompok pembanding yang sama sekali belum pernah mengikuti kuliah psikologi (Silberman, 1996/2006).

Pemberian materi pelajaran dengan menggunakan media visual dapat meningkatkan ingatan siswa dari 14 hingga 38% terhadap materi (Silberman, 1996/2006). Namun demikian, perlu diingat, belajar tidak cukup hanya dengan mendengarkan atau melihat sesuatu.

Mengapa siswa perlu belajar aktif? Hal ini ada sangkut-pautnya dengan otak manusia. Otak manusia tidak berfungsi sebagai tape recorder yang mampu menampung informasi yang masuk, tetapi otak juga harus mengolahnya. Otak akan melakukan tugas belajar dengan lebih baik jika otak membahas informasi itu dengan orang lain, atau diminta mengajukan pertanyaan tentang itu.

Menurut John Holt (dikutip dari Silberman, 1996/2006), proses belajar akan meningkat jika siswa diminta untuk melakukan sesuatu terhadap informasi, sebagai berikut:
1. Mengemukakan kembali informasi dengan kata-kata mereka sendiri
2. Memberikan contohnya
3. Mengenalinya dalam bermacam-macam bentuk dan situasi
4. Melihat kaitan antara informasi itu dengan fakta atau gagasan lain
5. Menggunakannya dengan beragam cara
6. Memprediksikan sejumlah konsekuensinya
7. Menyebutkan lawan atau kebalikannya

Dengan melakukan beberapa hal di atas, kita bisa mendapatkan umpan balik tentang seberapa bagus pemahaman kita.


Proses belajar sesungguhnya bukanlah menghafal semata. Banyak hal yang kita ingat akan hilang dalam beberapa jam. Mempelajari bukanlah menelan semuanya. Untuk mengingat apa yang diajarkan, siswa harus mengolahnya atau memahaminya. Seorang guru tidak dapat dengan serta-merta menuangkan sesuatu ke dalam benak para siswanya karena siswa sendirilah yang harus menata apa yang didengar dan dilihat menjadi satu kesatuan yang bermakna. Tanpa peluang untuk mendiskusikan, mengajukan pertanyaan, mempraktikkan, dan barangkali bahkan mengajarkannya kepada siswa yang lain, proses belajar sesungguhnya tidak terjadi.

Ketika kegiatan belajar sifatnya pasif, siswa mengikuti pelajaran tanpa rasa keingintahuan, tanpa mengajukan pertanyaan, dan tanpa minat terhadap hasilnya (kecuali, barangkali, nilai yang diperoleh). Ketika kegiatan belajar sifatnya aktif, siswa akan mengupayakan sesuatu. Siswa menginginkan jawaban atas sebuah pertanyaan, membutuhkan informasi untuk memecahkan masalah, atau mencari cara untuk mengerjakan tugas.

Gambar diambil dari http://mipsos.files.wordpress.com/2009/02/oa1xxx682.jpg

Referensi:
Silberman, M. L. (2006). Active learning: 101 cara belajar siswa aktif (edisi revisi) (R. Muttaqien, Penerj.). Bandung: Nusamedia. (Karya asli diterbitkan tahun 1996).

Jumat, 29 Mei 2009

Piaget Vs Vygsotsky

Ada dua tokoh besar yang teorinya punya peranan penting dalam pengajaran yang menggunakan pendekatan konstruktivis. Mereka adalah Jean Piaget dan Lev Semenovich Vygotsky. Tetapi, ada perbedaan penekanan dari kedua teori tokoh ini. Yuk, kita bahas satu per satu!

Jean Piaget adalah seorang psikolog Swiss terkenal (1896-1980) yang karena hasil penelitiannya mengenai anak-anak dan teori perkembangan kognitifnya.

Teori pendekatan konstruktivis Piaget dinamakan dengan pendekatan konstruktivis kognitif (cognitive constructivist approach). Pada pendekatan ini, siswa membentuk pengetahuan dengan mentransformasikan, mengorganisasikan, dan mereorganisasikan pengetahuan dan informasi sebelumnya. Piaget menekankan bahwa guru seharusnya menyediakan dukungan bagi siswa untuk mengeksplor dan mengembangkan pemahaman.


Lev Vygotsky adalah seorang psikolog Rusia (1896-1934) dan pendiri cultural-historical psychology.

Teori pendekatan konstruktivis Vygotsky dinamakan dengan pendekatan konstruktivis sosial (social constructivist approach). Pada pendekatan ini, siswa membentuk pengetahuannya dengan berinteraksi dengan teman sebayanya atau orang yang dianggap lebih expert (ahli atau pakar). Vygotsky menekankan bahwa guru seharusnya menciptakan banyak kesempatan bagi siswa untuk belajar bersama dengan teman sebaya dan guru dan saling membentuk pengetahuan.

Boleh berbeda, namun juga tetap ada persamaannya. Persamaan dari kedua pendekatan ini, yaitu guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing daripada sebagai sutradara atau model bagi pembelajaran siswa.

Gambar Jean Piaget diambil dari http://netsains.com/wp-content/uploads/2009/02/piaget.jpg

Gambar Lev Vygotsky diambil dari http://hagar.up.ac.za/catts/learner/2000/scheepers_md/images/vygotsky.jpg

Referensi:
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Minggu, 24 Mei 2009

Dua Metode Pengajaran

Ada dua metode utama mengenai bagaimana guru mengajar: pendekatan konstruktivis (constructivist) dan pendekatan instruksi langsung (direct instruction).

Pendekatan konstruktivis adalah pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centered approach), yaitu pendekatan yang menekankan pada pentingnya siswa dalam mengkonstruksi pengetahuan dan pemahamannya secara aktif dengan bimbingan dari guru (Santrock, 2008). Pada pendekatan konstruktivis, guru seharusnya tidak menumpahkan informasi ke dalam pikiran siswa. Siswa seharusnya dirangsang untuk mengeksplorasi dunia mereka, menemukan pengetahuan, melakukan refleksi, dan berpikir kritis dengan tuntunan dan pengawasan oleh guru. Karena pembelajaran berpusat pada siswa, guru tidak lagi memberikan ceramah dan mengontrol aktivitas kelas. Analoginya, guru hanya memberikan tangga kepada siswa untuk membantu siswa mendaki ke arah pemahaman yang lebih tinggi, tetapi siswa itu sendiri yang harus mendaki tangga tersebut.

Sedangkan, pendekatan instruksi langsung adalah pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centered approach), yaitu pendekatan yang dicirikan dengan adanya instruksi dan kontrol dari guru, standar prestasi, ekspektasi guru akan kemajuan siswa, waktu yang harus diluangkan siswa dalam mengerjakan tugas, dan usaha guru meminimalkan efek negatif (seperti, kritik yang berlebihan) yang timbul selama pengajaran (Santrock, 2008). Tujuan dari pendekatan instruksi langsung adalah memaksimalkan waktu belajar siswa. Semakin banyak waktu yang digunakan siswa untuk belajar, semakin siswa dapat menguasai materi pelajaran. Dengan demikian, pendekatan ini fokus pada kegiatan akademis. Kegiatan nonakademis, seperti bermain, cenderung tidak digunakan.

Sejumlah pakar psikologi pendidikan menyebutkan bahwa pengajaran yang efektif adalah dengan menggunakan kedua pendekatan ini (Santrock, 2008). Lebih lanjut, pada waktu tertentu sebaiknya pengajaran menggunakan pendekatan konstruktivis, sementara di waktu lain menggunakan pendekatan instruksi langsung.

Referensi:
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Sabtu, 23 Mei 2009

Selayang Pandang Psikologi Pendidikan

Pernah dengar kata psikologi? Apa itu psikologi? Jika Anda bilang psikologi itu ilmu tentang kejiwaan, atau ilmu tentang orang gila atau stres, maka Anda tidaklah salah. Tapi, jawaban Anda itu paling hanya saya kasih nilai 25. Hehe...

Terus, apa definisi sebenarnya dari psikologi? Psikologi adalah studi ilmiah mengenai perilaku dan proses mental (Santrock, 2005). Jadi, ada 3 istilah yang dapat kita cermati di sini: ilmiah, perilaku, dan proses mental.

Ilmiah artinya metode yang digunakan dalam riset psikologi adalah sistematis. Metode sistematis ini mencakup (a) mengkonseptualisasikan masalah, (b) mengumpulkan data, (c) menganalisa data, dan (d) menarik suatu kesimpulan (Santrock, 2005). Perilaku adalah sesuatu hal yang dapat kita amati secara langsung. Perilaku inilah data yang dikumpulkan oleh para psikolog. Karena jiwa adalah sesuatu yang abstrak, perilaku digunakan sebagai indikator dalam menentukan taraf kejiwaan seorang. Proses mental adalah sesuatu yang tidak dapat diamati secara langsung meliputi, pikiran, perasaan, motif, dsb. Proses mental dapat diamati dari perilaku.

Bingung? Jadi penjelasannya begini. Dalam melihat kejiwaan seseorang, psikolog mengamati perilaku seseorang itu seperti apa. Misalkan, saat seseorang dalam jiwa terguncang, tak mungkin wajahnya berseri-seri. Dengan melihat perilaku, kita dapat menebak apa yang sedang berkecamuk dalam jiwa seseorang. Maka dari itu, psikologi juga dapat diartikan sebagai ilmu tentang perilaku.

Lalu apakah psikologi pendidikan itu? Psikologi pendidikan adalah cabang dari psikologi yang secara khusus mempelajari pembelajaran (learning) dan pengajaran (teaching) dalam lingkup pendidikan (Santrock, 2008). Psikologi pendidikan merupakan suatu alat (tool) yang dapat digunakan untuk memberi pengajaran yang efektif. Dapat dikatakan, psikologi pendidikan adalah penerapan psikologi ke dalam dunia pendidikan.

Tiga ranah yang ditekankan psikologi pendidikan, yakni: guru (pengajar), siswa (pembelajar), dan pembelajaran itu sendiri. Topik-topik yang sering dibahas dalam psikologi pendidikan, antara lain keragaman budaya siswa, siswa dengan kondisi luar biasa (exceptional learner), motivasi siswa, rencana pengajaran, metode pengajaran, manajemen kelas, tes bakat dan prestasi siswa, serta isu teknologi pendidikan.

Psikologi pendidikan memang tidak dapat memberi tahu apa yang harus seorang guru lakukan, tetapi psikologi pendidikan dapat memberikan prinsip-prinsip untuk menyelesaikan masalah dan juga pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pendidikan.

Catatan: Gambar adalah lambang psikologi

Referensi:
Santrock, J. W. (2005). Psychology (Updated 7th ed.). New York: McGraw-Hill.
--------------- (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Jumat, 22 Mei 2009

Selamat Datang

Hai... hai... Anda telah tiba di blog psikologi pendidikan yang berjudul SI PEN. Apa itu SI PEN? SI PEN adalah singkatan dari pSIkologi PENdidikan. Artinya, isi dari blog ini berhubungan dengan psikologi pendidikan atau pun tentang psikologi dan pendidikan saja. Mudah-mudahan dengan kehadiran blog ini sedikit dapat menambah informasi tentang dunia psikologi dan pendidikan.

Filosofi blog ini sederhana saja. Anda lihat sebuah pen besar ketika melihat blog ini, bukan? Pen adalah benda lazim yang menemani hidup kita dalam aktivitas menulis. Pen adalah alat penting bagi seorang pelajar. Inilah alat yang digunakan untuk mencatat buku dan menjawab soal ujian. Tanpa pen, rasanya akan sulit membayangkan bila aktivitas belajar-mengajar disampaikan dari mulut ke mulut.

Oh, ya, saya masih ingat dengan perkataan seorang guru SD saya yang berujar bahwa pen adalah senjata utama seorang guru. Dengan sebuah pen, beliau dapat tidak meluluskan seorang siswa. Angka 9 di rapor dapat dicoret dan diubah menjadi angka 4, kata beliau. Hanya berbekal pen. Ngomong-ngomong, siapa ya, pencipta pen? Kita harus berterima kasih (atau mungkin menghujat) untuk orang ini. Ternayata, sebuah pen mampu menentukan nasib seorang siswa.

Perlu Anda ketahui, blog ini sengaja dibuat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Psikologi Pendidikan 2. Dengan kata lain, blog ini dibuat dengan terpaksa. Ups, hehehe. Namun, bukan berarti blog ini akan mati suri begitu saja setelah mata kuliahya lulus (Amin). Mungkin saja, blog ini akan berkembang dan terus berkembang.

Oleh karena itu, dukungan, kritik dan saran untuk pengembangan blog ini sangatlah diharapkan.

Regard,

Sufren