Senin, 08 Juni 2009

Tiga Domain Pendidikan

Pendidikan di segala jenjang pada umumnya dimaksudkan mendapatkan tiga domain dalam pembelajaran, yaitu kognitif, psikomotor, dan afektif. Dalam bahasa sehari-hari dapat diterangkan menjadi: pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

Pembelajaran kognitif (pengetahuan) mencakup pemerolehan informasi dan konsep. Pembelajaran ini tidak hanya berkenaan dengan pemahaman bahan ajar, tetapi juga dengan analisis dan penerapannya pada situasi baru. Pembelajaran psikomotor atau perilaku (keterampilan) mencakup pengembangan kompetensi pada kemampuan siswa dalam mengerjakan tugas, memecahkan masalah, dan mengungkapkan pendapat. Pembelajaran afektif (sikap) mencakup pengkajian dan penjelasan tentang perasaaan dan preferensi (kesukaan). Siswa dilibatkan dalam menilai diri mereka sendiri dan hubungan pribadi mereka terhadap materi pelajaran.

Pembelajaran aktif atas informasi, keterampilan, dan sikap berlangsung berlangsung melalui proses penyelidikan atau proses bertanya. Siswa dikondisikan dalam sikap mencari (aktif) bukan hanya menerima (reaktif). Dengan kata lain, siswa mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka atau pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan sendiri. Mereka mengupayakan pemecahan atas permasalahan yang diajukan oleh guru. Mereka tertarik untuk mendapatkan informasi atau menguasai keterampilan guna menyelesaikan tugas yang diberikan kepada mereka. Kemudian, mereka dihadapkan pada persoalan yang membuat mereka tergerak untuk mengkaji apa yang mereka nilai dan yakini. Semua ini terjadi apabila siswa dilibatkan dalam tugas dan kegiatan yang secara halus mendesak mereka untuk berpikir, bekerja, dan merasa.

Jenis-jenis kegiatan yang berkaitan dengan pembelajaran aktif dapat dilihat dari beberapa judul posting saya sebelumnya...

Referensi:
Silberman, M. L. (2006). Active learning: 101 cara belajar siswa aktif (edisi revisi) (R. Muttaqien, Penerj.). Bandung: Nusamedia. (Karya asli diterbitkan tahun 1996).

Minggu, 07 Juni 2009

Jigsaw Classroom: Belajar Ala Permainan Jigsaw

Belajar ala permainan jigsaw (menyusun potongan gambar) merupakan teknik yang paling banyak dipraktikkan (Silberman, 1996/2006). Entah di Indonesia, apakah sering dipraktikkan di sekolah-sekolah? Sepanjang hidup saya, saya tidak ingat pernah diberikan pembelajaran ala jigsaw. Namun, apa pun itu, patutlah dicobakan.

Metode ini salah satu variasi dari cooperative learning. Metode ini merupakan alternatif menarik bila ada materi belajar yang bisa disegmentasikan atau dibagi-bagi dan bila bagian-bagiannya harus diajarkan secara berurutan. Kelas dibagi ke dalam kelompok. Tiap anggota kelompok mempelajari satu bagian materi. Tiap anggota kelompok yang mendapat bagian materi yang sama membentuk kelompok lagi untuk mendiskusikan bagian materi tersebut. Setelah itu, tiap anggota kelompok kembali ke kelompok awal mereka dan saling mengajarkan bagian materi kepada anggota kelompok lain.

Prosedur:
1. Pilih materi belajar yang bisa dipecah menjadi beberapa bagian atau segmen. Sebuah bagian bisa sependek kalimat atau sepanjang beberapa paragaf. (Jika materinya panjang, perintahkan siswa untuk membaca tugas mereka sebelum pelajaran.)

Contoh:
• Sebuah naskah biografi tokoh sejarah
• Bagian-bagian eksperimen ilmu pengetahuan
• Daftar definisi
• Sejumlah artikel setebal majalah atau jenis materi bacaan pendek lain

2. Hitung jumlah bagian yang hendak dipelajari dan jumlah siswa. Bagikan secara adil bagian-bagian itu kepada berbagai kelompok siswa. Sebagai contoh, jika kelas terdiri dari 30 siswa. Materi pelajaran mungkin dapat dibagi menjadi 6 bagian.

3. Selanjutnya, dapat dibentuk kelompok kuintet (kelompok dengan 5 orang). Kita sebut saja “kelompok belajar bagian”. Tiap-tiap kelompok kuintet ini mendapat bagian materi yang sama untuk membaca, mendiskusikan, dan menguasai per bagian materinya.

4. Setelah waktu belajar selesai, bentuklah kelompok “jigsaw”. Kelompok tersebut terdiri dari perwakilan tiap kelompok kuintet di kelas. Nantinya, akan terbentuk kelompok kuintet yang baru dengan bagian-bagian materi yang berbeda. (Atau, alternatif lain, kelompok “jigsaw” sudah dibentuk terlebih dahulu sebelum dibentuk “kelompok belajar bagian”.)

5. Perintahkan anggota kelompok “jigsaw” untuk mengajarkan satu sama lain dari hasil diskusi dan apa yang telah mereka pelajari sebelumnya.

Dengan demikian, tiap siswa mempelajari sesuatu yang, bila digabungkan dengan materi yang dipelajari oleh siswa lain, membentuk kumpulan pengetahuan atau keterampilan yang padu.

Gambar diambil dari http://img.tfd.com/wn/52/62CCB-jigsaw-puzzle.jpg

Referensi:
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Silberman, M. L. (2006). Active learning: 101 cara belajar siswa aktif (edisi revisi) (R. Muttaqien, Penerj.). Bandung: Nusamedia. (Karya asli diterbitkan tahun 1996).

Sabtu, 06 Juni 2009

Cooperative Learning

Cooperative learning adalah suatu kegiatan belajar di mana siswa membentuk kelompok kecil dan mengajari satu sama lain (Santrock, 2008). Kelompok yang dibentuk mungkin terdiri dari sepasang (2 orang), atau mungkin terdiri 4 orang atau lebih tergantung dari ukuran kelas. Apa yang didiskusikan siswa dengan teman-temannya dan apa yang diajarkan siswa kepada teman-temannya memungkinkan siswa untuk memperoleh pemahaman dan penguasaan materi pelajaran. Selain itu, cooperative learning dapat meningkatkan interdepedensi (ketergantungan) siswa. Bahasa umumnya, bisa bikin siswa jadi makin akrab.

Sebagian pakar (Silberman, 1996/2006) percaya bahwa sebuah mata pelajaran baru benar-benar dikuasai ketika siswa mampu mengajarkannya kepada orang lain. Cooperative learning memberi siswa kesempatan untuk mempelajari sesuatu dengan baik, dan sekaligus menjadi narasumber bagi siswa lain.

Salah satu bentuk cooperative learning yang sering digunakan adalah presentasi per kelompok. Kelas dibentuk kelompok (4-6 orang), lalu diberikan materi yang berbeda-beda. Kelompok diberi waktu untuk menguasai materi. Setelah itu, tiap kelompok diberikan kesempatan untuk mempresentasikan apa yang dipelajari di hadapan siswa-siswa lain.

Whew… Bicara soal presentasi, jujur saja, berdasarkan pengalaman saya, presentasi yang dilakukan oleh para siswa jauh lebih-lebih membosankan dan lebih membingungkan daripada apa yang dipresentasikan oleh guru atau dosen (termasuk saya juga lho). Mengapa? Entahlah, mungkin dari faktor budaya pengajaran Indonesia yang memang menuntut siswa lebih banyak mendengarkan daripada berbicara. Jadi, saat siswa diminta presentasi, hasilnya kurang memuaskan. Siswa sering tegang, grogi, atau banyak membaca slide layaknya orang berpidato (mending pidatonya berapi-api, tapi ini mah datar-datar saja) sehingga kurang menarik… Hehe, bukan curhat colongan oy…

Namun, bukan berarti, saya mengatakan pembelajaran dengan presentasi adalah buruk. TIDAK SAMA SEKALI. Justru, ini dapat melatih oral communication skil siswa. Oleh karena itu, penting bagi guru atau dosen untuk terus memberikan feedback kepada anak didiknya, baik dari segi materinya maupun cara mereka dalam membawakan materi, sehingga presentasi siswa dapat menjadi pengajaran yang efektif.

Gambar adalah foto saya saat presentasi di kelas Psikologi Sosial 2.

Referensi:
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Silberman, M. L. (2006). Active learning: 101 cara belajar siswa aktif (edisi revisi) (R. Muttaqien, Penerj.). Bandung: Nusamedia. (Karya asli diterbitkan tahun 1996).

Jumat, 05 Juni 2009

Problem-Based Learning

Problem-based learning (pembelajaran berdasarkan masalah) menekankan pada pemecahan masalah yang ada di kehidupan sehari-hari (Santrock, 2008). Bentuk aktivitas pembelajaran ini dengan memakai studi riset ilmiah. Riset dilakukan dalam kelompok kecil. Kelompok kecil ini dapat terdiri dari 4 sampai 5 orang. Masalah yang digunakan dapat bersumber dari masalah yang ada di lingkungan sekitar siswa. Misalkan, “Apa yang menyebabkan penurunan minat membaca pada siswa sekolah X?” atau “Bagaimana pandangan para siswa sekolah X mengenai penyandang HIV/AIDS?”

Siswa diminta mengidentifikasi masalah atau isu tersebut. Nantinya, siswa akan mencari sumber dan materi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah tersebut. Guru sendiri hanya berfungsi sebagai pembimbing yang membantu siswa serta memantau sampai di mana usaha siswa mampu menyelesaikan masalah itu. Perlu diingat, studi riset memerlukan ketekunan, kekompakan, dan waktu yang tidak sedikit. Guru sangatlah perlu memberikan masukan yang positif dan motivasi bagi murid agar riset tidak berhenti di tengah jalan.

Gambar diambil dari http://archive.student.bmj.com/issues/07/09/careers/images/view3.jpg

Referensi:
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.



http://www.youtube.com/watch?v=XB7M5c6MUuo.

Berikut ini adalah contoh video mengenai problem-based learning yang dilakukan di Maastricht University. Tapi, ini bukan promosi lho.. ^^

Kamis, 04 Juni 2009

Discovery Learning

Pada metode pembelajaran ini, siswa diminta untuk membentuk pengetahuan secara mandiri. Guru berusaha memotivasi siswa untuk memiliki pengalaman dengan melakukan eksperimen yang membolehkan mereka untuk menemukan prinsip bagi diri mereka sendiri.

Pembelajaran ini paling efektif diterapkan pada pelajaran ilmu pengetahuan alam (IPA). Bentuk aktivitas pembelajaran ini, yaitu dengan melakukan percobaan-percobaan (eksperimen) yang mungkin bisa dilakukan di laboratorium. Selanjutnya, guru meminta siswa untuk menerangkan hasil percobaan yang ditemui. Nantinya, siswa diharapkan dapat memahami apa yang terjadi setelah melakukan percobaan.

Discovery learning memiliki banyak keuntungan. Salah satunya, dengan cara belajar ini, siswa dapat meningkatkan keingintahuannya, dan termotivasi untuk terus bekerja sampai mereka menemukan jawaban atas pertanyaan mereka. Siswa juga cenderung lebih mengerti jika mampu melihat dan melakukan sesuatu daripada hanya mendengarkan ceramah.

Bagaimana agar siswa dapat belajar independen atau mandiri? Jawaban yang paling tepat dari sudut pandang discovery learning adalah membiarkan siswa mengikuti minat alamiah (natural interest) dalam meraih kompetensinya dan memuaskan rasa ingin tahunya. Guru hanya perlu mendorong siswa untuk menyelesaikan masalah secara mandiri atau dalam kelompok daripada mengajarkan mereka langsung jawabannya.

Sudut pandang pembelajaran ini menyebutkan bahwa belajar seharusnya fleksibel dan penuh eksplorasi. Jika siswa terlihat kesulitan dengan konsep, berikan mereka waktu untuk mencoba menyelesaikan masalah sendiri sebelum menyediakan solusi.

Akan tetapi, discovery learning tidak dapat digunakan di sekolah-sekolah secara “murni”. Jika dilakukan secara “murni”, maka artinya siswa hanya dituntut untuk belajar sendiri dan tidak ada instruksi dari guru. Peran guru tetaplah diperlukan, terutama untuk mengoreksi pemahaman siswa yang salah dalam melakukan percobaan.

Saran bagi guru jika menerapkan pengajaran dengan pendekatan discovery learning:
1. Menyemangati siswa dengan memberikan pertanyaan yang mengarah pada materi ajar
2. Menggunakan berbagai macam variasi dan permainan
3. Membiarkan siswa memuaskan rasa ingin tahu walaupun mereka menemukan ide-ide yang tidak berhubungan langsung dengan pelajaran

Gambar diambil dari http://www.permai.or.id/images/sma/kecil/SMA%20Permai_KBM_04.jpg

Referensi:
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Slavin, R. E. (1997). Educational psychology: Theory and practice (5th ed.). Boston: Allyn & Bacon.

Selasa, 02 Juni 2009

Essential Question

Essential question (pertanyaan esensial) adalah pertanyaan yang mencerminkan jantung kurikulum, sesuatu yang sangat penting yang harus dieksplor dan dipelajari siswa (Santrock, 2008).

Guru harus memberikan pertanyaan agak membingungkan, tetapi memancing rasa ingin tahu siswa, terutama mengenai materi yang akan dibahas. Siswa lebih cenderung mengingat pengetahuan tentang materi pelajaran yang belum pernah dibahas sebelumnya jika siswa dilibatkan semenjak awal dalam pengalaman kegiatan belajar satu kelas penuh.

Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dapat berhubungan dengan kehidupan sehari-hari. Misalkan, siswa SMP yang baru pertama kali mendapat pelajaran ekonomi dapat ditanyai, “Mengapa kita harus membayar pajak?” Selain itu, dapat pula mengenai definisi (“Apa gaya gravitasi itu?”), cara kerja (“Apa yang membuat burung dapat terbang?”), judul (“Menurut kalian, menceritakan tentang apa puisi ‘Aku’?”), dan akibat (“Menurut kalian, bagaimana akhir dari kisah ‘Malin Kundang’?”).

Penggunaan frase, seperti “coba tebak” atau “coba jawab” dapat mendorong siswa untuk berpikir dan membuat dugaan umum. Guru sebaiknya tidak terburu-buru dalam memberikan tanggapan atau jawaban. Tampung dulu semua jawaban siswa untuk menciptakan rasa penasaran pada siswa.

Guru sebaiknya menggunakan pertanyaan-pertanyaan tersebut untuk mengarahkan siswa kepada apa yang nanti akan diajarkan.

Gambar diambil dari http://ginisty.typepad.com/weblog/images/question.jpg

Referensi:
Santrock, J. W. (2008). Educational psychology (3rd ed.). New York: McGraw-Hill.

Silberman, M. L. (2006). Active learning: 101 cara belajar siswa aktif (edisi revisi) (R. Muttaqien, Penerj.). Bandung: Nusamedia. (Karya asli diterbitkan tahun 1996).

Senin, 01 Juni 2009

Studi Kasus

Studi kasus diakui secara luas sebagai salah satu metode belajar terbaik. Studi kasus pada umumnya berfokus pada persoalan yang ada dalam situasi atau contoh konkret, tindakan yang mesti diambil dan pelajaran yang bisa dipetik, serta cara-cara menangani atau menghindari situasi semacam itu di masa mendatang.

Prosedur:
1. Bagi kelas dalam beberapa kelompok (2-5 orang per kelompok). Perintahkan siswa untuk membuat studi kasus yang bisa dianalisis dan didiskusikan oleh siswa lain.

2. Jelaskan kepada siswa bahwa tujuan dari sebuah studi kasus adalah mempelajari sebuah topik dengan mengkaji situasi atau contoh konkret yang mencerminkan topik itu.

3. Sediakan waktu yang mencukupi bagi kelompok untuk membuat situasi kasus singkat yang mengandung contoh atau isu untuk didiskusikan atau sebuah persoalan untuk dipecahkan yang relevan dengan materi pelajaran di kelas.

Misal, kelompok membuat studi kasus berupa “Pengaruh Pembantu Rumah Tangga Pada Anak Di Rumah Yang Ditinggal Ibunya Bekerja”

Lalu, tiap kelompok menganalisis studi kasus tersebut. Agar lebih mudah, dapat dibantu pertanyaan-pertanyaan, seperti
“Apakah ada dampak pembantu rumah tangga terhadap perilaku si anak?”
“Apa yang terjadi jika proses sosialisasi anak lebih banyak dilakukan oleh seorang pembantu rumah tangga?”

4. Bila studi kasus ini sudah selesai, perintahkan kelompok untuk menyajikannya di depan kelas.

Referensi:
Silberman, M. L. (2006). Active learning: 101 cara belajar siswa aktif (edisi revisi) (R. Muttaqien, Penerj.). Bandung: Nusamedia. (Karya asli diterbitkan tahun 1996).