Sabtu, 08 Januari 2011

Bahaya Terlalu Memanjakan Anak

Kita sudah sering mendengar bahwa memanjakan anak itu tidak baik. Anak yang terlampau sering dimanjakan akan membawa dampak perkembangan anak yang tidak baik di kemudian hari. Oleh karena itu, para orangtua perlu berhati-hati dalam memanjakan anak. Anak biasanya dimanjakan dengan berbagai macam cara, seperti:
1. Memenuhi segala keinginan anak.
2. Membiarkan dan membolehkan anak berbuat sekehendak hatinya. Dalam artian, tidak membiasakan anak dengan peraturan, kepatuhan, dan tata krama.
3. Memberikan seribu satu pelayanan dan perlindungan kepada anak supaya anak terhindar dari kesulitan.

Masih banyak orang yang beranggapan bahwa anak-anak yang dimanjakan hanyalah anak-anak orang kaya. Sebetulnya hal memanjakan anak tidak tergantung pada kaya atau miskin lingkungan keluarga tersebut. Hal ini lebih dipengaruhi pada wawasan orangtua tentang cara-cara mendidik anak yang baik.

Penyebab anak dimanjakan
1. Orangtua memenuhi semua permintaan anak karena takut pada kesulitan yang ditimbulkan jika permintaan anak tidak dipenuhi. Anak yang tidak dipenuhi permintaannya biasanya akan menangis, rewel, atau marah. Hal ini kerap membuat repot bagi orangtua. Oleh karena itu, sebagian orangtua lebih baik memenuhi permintaan anak supaya terhindar dari rengekan, tangisan, amarah, atau kesulitan-kesulitan lain yang ditimbulkan anak.

2. Orangtua menganggap kepentingan anak harus didahulukan demi kebahagiaan anak. Orangtua semacam ini bersikap lunak kepada anak. Mereka tidak tega mengatakan “tidak” pada permintaan anak. Mereka melayani dan memudahkan kehidupan anak. Mereka takut jikalau tidak memenuhi permintaan anak akan membuat anak benci kepada mereka.

3. Orangtua lalai mengajarkan kedisiplinan pada anak. Orangtua tidak menegur anak yang berbuat salah atau berbuat nakal. Anak lupa untuk dibiasakan peraturan, kepatuhan, dan tata krama.

Akibat memanjakan anak
1. Anak akan mempunyai sifat egois atau mementingkan diri sendiri. Anak yang dimanja sejak kecil merasa bahwa selalu ada orang lain yang akan membantu dirinya atau memenuhi segala keinginan dirinya. Akibatnya nanti, anak akan merasa “besar”, merasa terpandang, merasa kepentingannya adalah yang paling utama. Akibatnya pula, anak semacam ini akan memiliki kepekaan sosial yang kurang. Anak menjadi tidak mengerti bagaimana menghargai orang lain.

2. Anak akan memiliki rasa harga diri yang kurang. Karena selalu dituruti, dilayani, dan dilindungi, akan membuat anak memiliki keyakinan bahwa ia “tidak mampu” mengerjakan sesuatu. Mereka nantinya selalu meminta harapan dan bantuan dari orang lain. Selanjutnya, mereka menjadi lekas putus asa dan keras kepala.

3. Anak akan menjadi kurang memiliki rasa inisiatif. Mereka akan memupuk sifat malas. Mereka enggan mengerjakan sesuatu yang sulit karena sejak kecil anak yang dimanja sudah dimudahkan kehidupannya.

4. Anak akan menjadi tidak mandiri. Jika sejak kecil anak sudah dituruti keinginannya, maka ketika besar anak menjadi dependen atau bergantung pada orang lain. Nantinya, dalam mengerjakan sesuatu, anak akan selalu meminta-minta bantuan kepada orang lain.

Referensi Utama:
Purwono, M. N. (2003). Ilmu pendidikan teoritis dan praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Kamis, 06 Januari 2011

Taman Kanak-kanak: Sejarah dan Manfaat

Anak bukanlah orang dewasa mini. Maka dari itu, anak harus diperlakukan berbeda dengan orang dewasa. Oleh sebab itu, pendidikan anak harus disesuaikan dengan jiwa anak. Adalah Friedrich Wilhelm August Frobel (21 April 1782 – 21 Juni 1852), seorang pakar didik anak dari Jerman, yang memelopori munculnya gerakan pendidikan anak.

Ayahnya adalah seorang pendeta. Ibunya meninggal dunia enam bulan setelah ia lahir. Kemudian, Frobel diasuh oleh ibu tirinya yang kejam yang tidak mengakui Frobel sebagai anaknya. Masa kecilnya semakin pahit karena ayahnya tidak pernah mau tahu dengan keadaannya, bahkan ia dicap oleh ayahnya sebagai anak terkutuk dengan kemampuan intelektual yang rendah.

Penderitaan yang dialami Frobel semasa kecil membangkitkan hasratnya untuk memperbaiki dan mengubah cara mendidik anak, baik di rumah maupun di sekolah. Karena besarnya kecintaan pada anak-anak, ia mendirikan sekolah khusus bagi anak-anak prasekolah yang dikenal dengan nama “kindergarten” (Taman Kanak-kanak). Sampai sekarang Frobel dikenal sebagai Bapak Taman Kanak-kanak.

Semboyannya yang terkenal adalah: “Marilah kita hidup bagi anak!” Anjurannya yang terkenal di sekolahnya dalam mendidik anak-anak, yaitu friede, freude, dan freihet (damai, gembira, dan merdeka). Sangat sesuai dengan kebutuhan perkembangan anak-anak. Metode yang dianjurkan Frobel, yaitu dari anak-anak dan dengan anak-anak. Cita-cita Frobel baru diakui oleh masyarakat setelah ia meninggal dunia. Sebelumnya, semasa ia hidup banyak orang yang mengejek cita-citanya itu.

Perlukah anak-anak kita dimasukkan ke TK sebelum anak dimasukkan ke SD? Tidak perlu diragukan lagi jawabannya. Jelas sekali memasukkan anak ke TK memiliki sejumlah keuntungan. Jika ditinjau dari sudut perkembangan anak, anak usia prasekolah masih memiliki sifat egosentris, suatu sifat di mana anak masih memandang bahwa segala sesuatu yang ada di sekitarnya adalah untuknya, kepunyaannya, dan harus tunduk kepadanya. Sifat ini terkadang menyusahkan orangtua. Anak sering bertengkar, membantah, dan menolak nasihat orangtua. Perasaan sosial anak masih kurang. Dengan memasukkan anak ke TK, anak akan belajar bergaul dengan anak lain, bermain bersama, dan belajar bersama. Anak akan belajar untuk tunduk kepada aturan dan belajar bertanggung jawab. Dengan demikian, perasaan sosial anak akan tumbuh dan terlatih. Selain itu, anak mulai belajar sopan santun, berlaku baik, tolong-menolong sesama teman, dan sebagainya. Semuanya itu baik bagi perkembangan mental anak sehingga anak siap dan matang bersekolah menuju jenjang yang lebih tinggi. (suf)

Referensi utama:
Purwono, M. N. (2003). Ilmu pendidikan teoritis dan praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.