Minggu, 02 Agustus 2009

Pengembara dan Batunya

Seorang laki-laki berjalan di bawah terik matahari melalui daerah tidak dikenal. Ia telah berjalan sepanjang hari ketika ia merasa cemas dan mulai khawatir bahwa ia mungkin salah jalan. Mendadak, ia terkejut melihat seorang laki-laki amat sangat tua duduk bersandar pada sebuah batang pohon. Kedua tangannya terlipat dan kepalanya terkulai di atas tangan. Rambut putih laki-laki tua itu berkilau memantulkan sinar matahari.

Si pengembara yang terkejut itu berlari menemuinya dan bertanya, “Maaf, permisi, apakah Anda baik-baik saja?” Lelaki tua itu tidak bergerak atau pun menjawab.

Si pengembara berlutut dan menyentuh bahu lelaki tua tersebut sambil bertanya lagi, “Permisi, apakah Anda tidak apa-apa?”

Lagi-lagi dia tidak mendapatkan jawaban. Si pengembara berdiri dan berniat melanjutkan perjalanan, ketika tiba-tiba kepala lelaki tua itu terangkat dan matanya terbuka lebar.

Dengan suara lemah dan terpatah-patah si lelaki tua berkata, “Teruslah berjalan, kau berada di jalan yang benar. Sebelum kau menyeberangi sungai, kumpulkan apa yang kau temukan di sana sebanyak-banyaknya, karena kau tidak akan pernah bisa kembali.” Matanya tertutup dan kepalanya kembali disandarkan pada tangannya.

Si pengembara menunggu, kemudain akhirnya berbalik dan melanjutkan perjalanannya di bawah sengatan matahari, sambil berkata pada dirinya sendiri bahwa lelaki tua itu mungkin gila. Kemudian, ia memikirkan perkataan lelaki tua itu dan tertawa sendiri, “Mungkin sungainya juga tidak ada!”

Si pengembara berjalan terus dan akhirnya sampailah dia di kaki sebuah bukit besar. Ketika ia mencapai puncaknya, ia melihat sebuah sungai besar yang indah mengalir perlahan di balik bukit. Dengan bersemangat, ia berlari menuruni bukit dan meloncat ke dalam air yang sejuk. Dia menari-nari sambil menciprat-cipratkan air ke atas sehingga membasahi seluruh tubuhnya. Tiba-tiba ia tertegun, suara lelaki tua itu terngiang kembali di telinganya, “Sebelum kau menyeberangi sungai, kumpulkan apa yang kau temukan di sana sebanyak-banyaknya, karena kau tidak akan pernah bisa kembali.”

Si pengembara itu mencari-cari ke sekelilingnya, tetapi tidak melihat apa pun kecuali, ranting, bebatuan, dan rerumputan biasa. Ia berpikir, “Satu-satunya yang bisa kukumpulkan adalah batu-batu ini, tetapi untuk apa? Untuk menghalau binatang buas, ah, rasanya tidak mungkin.”

Tapi, ia membungkuk juga untuk mengumpulkan beberapa buah batu dan mengantonginya. Kemudian, ia berbalik untuk menyeberangi sungai, tetapi ia berhenti lagi, dan berpikir, “Ini hal yang paling gila yang pernah kulakukan.” Kemudian, ia pun menyeberangi sungai.

Langit menjadi gelap, dan pengembara itu kelelahan sehingga ia memutuskan untuk menghentikan perjalanannya dan mendirikan sebuah tenda kecil. Dengan cepat ia tertidur. Menjelang tengah malam, mendadak ia terbangun dan berdiri. Ia menatap bulan purnama yang menerangi langit. Ia menjadi marah saa menyadari apa yang membangunkannya. Batu-batu dalam kantongnyalah yang telah mengganjal tubuhnya. Ia mengeluarkan segenggam batu itu dan menyingkirkannya. Sinar bulan memantul pada batu-batu itu. Ternyata, batu-batu itu berubah menjadi intan permata yang tak ternilai harganya! Si pengembara merasa menyesal. “Andai saja aku mengumpulkan lebih banyak sebelum menyeberangi sungai tadi,” pikirnya.

Pesan moral dari kisah di atas:
Sekolah seperti tepian sungai yang penuh batu-batu berserakan yang mungkin akan menjadi permata jika Anda mengambilnya. Seperti lelaki tua yang tidak dapat memaksa si pengembara mengambil batu sebanyak-banyaknya, guru juga tidak dapat memaksa Anda mengumpulkan ilmu yang ditawarkan di sekolah. Tidak juga orang lain. Tetapi, guru dapat dan akan mendorong Anda untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan sebanyak mungkin sebelum Anda menyeberangi sungai karena Anda tidak akan pernah bisa kembali ke saat ini.